Malam kelabu tanpa bulan dan bintang, temani angin malam menembus ke tulang. Mampu membuat kopi hangat menjadi dingin. Lingga menatap nanar langit hitam gumalang. Badan yang hanya terbalut kaus hitam tipis ternyata tidak mampu menghatkan tubuhnya.
Namun, Laras dengan ajaib menyandarkan kepalanya pada bahu Lingga. Seketika dingin tubuhnya lenyap diantara dekap. Menikmati setiap deru nafas masing-masing, menatap rumput yang tidak kunjung marah walau sudah ribuan kali tertiup angin.
Bagi Lingga, Laras adalah tinta di dalam penanya. Dan hidup yang ia jalani, adalah buku tebal dengan ratusan kertas putih. Lantas, pena tanpa tinta tidak akan bisa menyala. Ia akan mati. Jadi mau tak mau, buku itu harus kembali di tutup. Sama halnya, jika Laras pergi, Lingga juga harus pergi entah kemana. Bahkan ia tidak bisa menemukan jalan semudah itu tanpa Laras di sisinya.
Lingga telah cinta mati.
"Ngga..."
"Hm?"
"Kalau aku pergi, kamu gimana?"
"Ikut kamu lah."
"Pergi nentuin jalan hidup maksud ku."
Jika Laras belum menemukan jalan hidup, dimana ia akan menetap selanjutnya, siapa pelabuhan terakhirnya. Maka Lingga sudah. Semuanya adalah Laras. Mungkin, sekarang, Laras akan jadi satu-satunya tempat hati pertama dan terakhirnya.
"Aku bakal nungguin kamu. Sampai kamu balik lagi."
"Kalau aku nggak balik?" Laras menoleh pada Lingga. Wajah rupawan itu di selimuti rambut yang semakin panjang dan terkibas angin malam tanpa henti. Alih-alih menjawab, Lingga malah tertawa sumir. Tidak tahu apa yang Lingga pikirkan sampai-sampai seperti itu. Tapi Laras tahu, Lingga sedikit pilu mendengar pertanyaan Laras.
Laras tahu, Lingga menyematkan dirinya sebagai rumah untuk pulang. Dan jika ia pergi, kemana lagi Lingga harus pulang?
"Selama apa kamu nemuinnya? Kenapa nggak kita yang cari bareng-bareng?"
"Karna jalan hidup orang beda-beda. Nggak bisa mereka cari bareng-bareng. Keculi mereka udah terikat."
"Terikat apa maksud kamu?"
"Ya ikatan pernikahan. Kita kan cuman pacaran, jadi masing-masing dari kita enggak ada hak untuk satu sama lain."
"Kamu ngode atau gimana?" Lingga tergelak saat Laras dengan pipi bersemu merah memukul bahunya. Sebetulnya, Laras bukan tipikal perempuan menuntun yang harus ini itu. Bahkan, Laras juga mengatakan jika mereka tidak punya hak atas siapapun. Tetapi, pada dasarnya Laras hanya butuh kepastian saja. Akan kah di seriusi betulan hubungannya atau hanya semata-mata.
Lingga juga bukan lelaki tidak tahu diri, mencintai Laras hanya dengan semena-mena. Lingga pun sama halnya, pantas atau tidak jika hubungannya menjadi serius. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri. Sebera pantas Lingga untuk selamanya bersama Laras. Mampu kah Laras bersama Lingga untuk selamanya.
"Ada saatnya nanti, Laras. Kamu tenang aja."
"Maksud kamu apa tenang-tenang?!"
"Minta di nikahin kan?"
"LINGAAAA?!" Suara gelak Lingga kembali menyeruak, menyabet sunyi pedar yang mendera. Serta wajah merajuk Laras menjadi suatu wedangan indah pada malam tanpa bulan dan bintang. Tanpa pikir panjang, Lingga menarik Laras untuk menelusup dalam dekapannya. Mengusak pelan rambut perempuan itu, seolah mengatkan bahwa dan semoga saja semua berjalan seperti apa yang mereka inginkan.
"Pantes malem ini enggak ada bintang."
"Kenapa emang?"
"Ya dia malu lah! Orang kamu aja cantiknya udah kelewatan sampe buat dia nggak pede."
"Lingga bisa diem nggak? Atau mau aku obralin kamu ke Mbak- Mbak Ramayana."
"Aduh mau banget dong. Apalagi sama si Teteh yang namanya Wulandari Subandoyo, meni geuliss pisaaan."
"Benaran minta di paku terus di tulisin diskon lima puluh persen ya?"
"Enggak lah! Emang aku cowok apaan. Cowok mahal aku mah, enggak ada diskon. Makanya yang dapetin cuman kamu doang."
Laras tidak protes lagi saat gombalan sampah keluar dari bibir Lingga. Karna sebetulnya, hanya dengan itu Lingga mampu membuat hati Laras berdebar bukan main. Menciptakan frasa yang tidak ada habis-habisnya. Seperti berada di padang rumput dengan jutaan kunang-kunang mengintari.
"Ras..."
"Apa?"
"Boleh lancang nggak sama kamu?" Laras tentu paham apa yang dikatakan Lingga. Lantas, Laras pun mengangguk dan memejamkan mata. Dan tidak lama setelah itu-- Lingga berhasil medaratkan bibirnya pada kening Laras.
"Ini lebih lancang lagi, Ras. Aku rela di laporin warga sekitar." Katanya sebelum Lingga juga kembali mendaratkan bibirnya pada ranum merah merona milik Laras. Dikecupnya pelan. Hingga membuat Laras mabuk kepayang sampai menembus awang-awang. Matanya saling beradu. Mereka bisa melihat dirinya diantara kedua bola mata binar itu. Sungguh, Lingga juga candu sekali bagi Laras.
Saat Laras mulai melingkarkan tangannya di leher Lingga, sang empu malah menurunkan tangan sang kekasih. Sambil tertawa pelan, "Jangan, nanti aku di sambit warga karna di sangka ngapa-ngapain anak orang."
"Yaudah kita masuk ke dalem aja."
"Laras!"
"Apa? Masuk ke dalem karna dingin disini. Kamu tuh pikirannya."
Setelahnya, hanya ada gelak tawa yang terdengar. Bahkan terdengar sampai ke Pak Subarjo yang kebetulan dapat jadwal ronda.Hanya seperti ini, Lingga bisa cinta mati dari hari ke hari. Bahkan di buat kelimpungan oleh Laras, kekasihnya. Bahkan mereka pun bisa saja harus berpisah esok hari, atau bahkan lusa. Sebab akdir tidak pernah mengizinkan mereka untuk tahu apa saja rahasianya. Ia bisa semengejutkan itu, entah bahagia atau perih bukan main. Namun yang jadi catatan, Lingga akan tetap mencintai sepenuh hati pada Laras bagaimana pun caranya.
Keduanya tidak pernah tahu, mereka menunggu waktu yang menjawab atas semua pertanyaannya.
Bersambung...
Lingga Djanuar
"Ingat kan? Pertemuan adalah awal dari perpisahan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Bui
General FictionLaras tidak tahu harus menunggu seberapa lama lagi sampai Lingga mampu menjadikan hatinya satu-satunya. Meninggalkan dirinya seorang diri dengan bayangan yang semu. Dan, sampai pada suatu hari dimana Lingga berkata, "Maafin aku, Ras." ft. taehyung ©...