2. Setiap Pukul Sembilan Malam

20 7 0
                                    

Laras lumayan ahli dalam bidang seni. Ia mampu terjun dalam bidang menjahit dan disen begitu baik. Dia suka melukis, menggambar dan memotret apapun yang menurutnya cantik. Laras juga sempat menjadi guru les di bidang ilmu kesenian beberapa tahun kebelakang. Bakatnya ini di turunkun oleh Mama yang kebetulan sangat cinta dengan seni, sampai-sampai Mama berhasil membuka sebuah butik baju yang semua pakaiannya kebetulan dijahit dan di rancang oleh Mama sendiri.

Meskipun Mama punya toko sendiri hasil karya-karyanya, namun Laras sama sekali tidak ikut campur tangan begitu dalam. Dengan alasan, dia ingin memulai dari awal. Tidak langsung menikmati hasil begitu saja. Oleh karena itu, Laras kembali memulai bakatnya dan bekerja di salah satu pabrik jahit baju. Pekerjaannya pun tidak terlalu berat, ia hanya menjalankan tugasnya seperti membetulkan baju yang koyak dan merancang baju sesuai pelanggan inginkan.

Sudah hampir 6 bulan Laras kembali berkecimpung di dunia pekerjaan yang ia inginkan. Dan untungnya, Laras senang akan hal itu. Dimana tidak ada keterpaksaan, ikhlas dan menikmati pekerjaannya. Namun, ada saja persaingan dalam dunia kerja. Yang egois dan ingin menang sendiri. Laras juga tidak heran, tapi ia menghadapinya sesuai kemampuan yang dimiliki.

Setiap pukul 9 malam, kantor sudah mulai tutup untuk beroprasi. Para karyawan yang lain juga sudah ada beberapa yang pulang terlebih dulu. Laras memang sering berdiam diri dulu di dalam ruangan, entah kenapa Laras pun tidak begitu mengerti. Ia suka saja menikmati saat-saat menyendiri di dalam ruangan penuh tumpukan kain setengah jadi.

Namun tidak begitu lama, saat Danila memanggilnya di ujung pintu, ia mau tidak mau harus bangkit.

"Kenapa sih kamu ngikutin aku terus?"

"Siapa yang ngikutin elu? Noh si Lingga, Pacar lu neror gue buat manggil elu. Mana rese banget lagi tuh anak."

Dalam diam, Laras tersenyum kecil. Setiap jam 9 malam, tepatnya Laras di saat pulang kerja. Pasti Lingga selalu nangkring di atas motor dan menunggunya di depan gerbang. Padahal, Laras sama sekali tidak meminta Lingga untuk menjemputnya. Dia yang mau sendiri.

"Dia mah emang gitu. Maafin ya." Kata Laras.

"Ngomong-ngomong, elu beli cowok kayak gitu dimana dah? Cakeeep amat yak gua liat-liat si Lingga." Bahkan Danila sampai menutup mulut setelahnya karna malu untuk menanyakan hal semacam itu pada Laras.

Dan saat Laras hanya tersenyum, tidak kunjung menjawab, Danila malah menukikan wajahnya. "Etdaah becanda doang gua mah. Jangan cemburu, lagi mana demen tuh laki sama modelan keripik kemplang kek gua."

"Enggak cemburu, Danila. Aku nggak dapet apalagi beli. Dia-nya aja yang dateng sendiri."

"Orang cakep mah beda yak. Dia mah cowok dateng sendiri. Lah kita mah kudu nguber-nguber dulu, itu juga belon tentu dapet. Bagi resep dong..."

"Hah? Resep apa?"

"Cara dapetin cowok cakep. Lah gue sih bosen juga saben hari dapetnya si Karyo sopir angkot, pan pengen juga yang agak kelasan dikit gitu."

Laras tergelak. Tidak heren bahwa Danila ini ceritanya seputar hubungan bertepuk sebelah tangannya dengan Karyo. Sebetulnya Danila terang-terang berkata pada Karyo jika dia tidak suka dengan lelaki itu. Justru, saat Danila blak-blakan menolak Karyo, Karyo justru semakin gencar mendekati Danila.

"Jangan pandang sopir angkotnya atuh. Walau begitu, Karyo juga 'kan orangnya tulus. Tuh liat perjuangan dia buat dapetin hati kamu sampe jungkir balik gitu." Laras bahkan tidak menyadari bahwa Lingga sudah ada di hadapan matanya. Saat Danila menyerocos dan mengelak habis-habisan bahwa Karyo tidak seberjuang itu untuk dirinya, yang Laras lihat hanya setengahnya saja. Aslinya sih Karyo itu lelaki banyak omong sana-sini, tapi sama sekali tidak bermodal. Begitu kata Danila.

Cinta Dalam BuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang