Haikal menghela nafasnya. Sebentar dia longarin dasi sekolahnya gara gara gerah.
Ya udah gerah, capek, emosi pula.
BAYANGIN AJA, ini kelas pengap banget, kipas angin juga cuman satu, udah gitu anginnya ga berasa sama sekali.
Terus ini mau ditambah murid lagi?? Dan waktu dia butuh partisipan buat diajak demo ke depan ruangan kapsek, anak kelasnya pada mogok?
"Ayo lah lur! Kagak gumoh apa setiap hari cium bau kaos kaki busuk? Demi kedamaian kelas kita, ya pak ketu??" bujuknya, menyorot ke Satya yang dari tadi cuman diam, no respons.
Cowok itu meghela. "Lo mau gua gimana Kal? Khasus lo aja udah bikin gua pusing, apalagi ini lo ngajak bertingkah lagi."
Satya si ketua kelas, setiap kali Haikal bikin ulah, ujung ujungnya yng kena semport wali kelas juga dia.
Tapi hebat sih, kesabarannya setebel kumis Pak Supri.
Haikal ngegeleng. "Gua janji bakal patuh sama lo setelah ini, JANJI GUA YAKIN DEH SAT."
Satya mengangkat dua bahunya santai. "SAT, bantuin gua lah! Handle anak anak lain."
"Ga bisa Kal, keputusan sekolah ga bisa lo ubah."
"Yaelah SAT! Usaha dulu dong, ayo SAT."
Dan sekali lagi, jawaban Satya adalah enggak. Dia tetap istiqomah gelenggin kepala kalau Haikal masih terus bujuk dia.
"Emang bangsat lo SAT." Haikal mengeluh.
Akhirnya dia duduk ngaso sebentar di bawah papan tulis. Karena sejak tadi dia belum pindah posisi dari depan kelas.
Pantang mundur pokoknya mah.
Ga lama, Ravi yang habis dari luar kelas menghampiri Haikal. "Lo lupa? Dipanggil Bu Irene tuh."
Berdecak. Dia hampir lupa, tapi seharusnya Ravi ga usah ingatin. "Ravi anjing." Dan pergi gitu aja dari duduknya.
"Lah kampret, gua ngapain?"
...
Kayanya karena kebiasaan, Haikal jadi nendang semua pintu itu pakai kakinya. Terkesan kaya dobrak, padahal itu bad habitsnya.
"Besok besok buka pintunya pakai kepala aja ya Haikal, biar tambah sopan." Bu Irene menunggu di kursi tahtanya.
Haikal nyengir, dan segera duduk di kursi yang dia tarik dari meja guru lain. "Kenapa bu? Kangen ya seminggu ga lihat saya?"
Bu Irene menghela, setelah itu selembar kertas beliau lempar ke atas meja.
"Haikal Akmali, dengarkan. Ibu bukan orang yang suka memberi kesempatan kedua untuk orang orang seperti kamu. Jadi tolong beri ibu alasan yang masuk akal dan jangan beri alasan berulang."
Haikal menghela sebentar, kemudian mengangguk dengan senyum tipisnya.
"Dimana kamu seminggu ini? Tanpa izin?"
"Bu, kalau saya bilang itu privasi saya, gimana dong?"
Bu Irene sandarkan bahu cantiknya ke kursi, memeluk kedua tangannya di depan dada sambil mensorot wajah santai Haikal.
Satu hela nafas pelan terdengar. "Intinya aja."
"Pokoknya ada!"
"Itu intinya?"
Giliran Haikal yang mengangguk santai.
Bu Irene menghela kembali, yang ini terdengar sedikit berat. Kemudian tangan beliau menyeret kertas itu ke depan.