Bismillahirrahmanirrahim.
Selamat membaca. 💖
***
Bahwa sekuat apa pun mempertahankan, sesuatu yang memang harus pergi, akan tetap pergi.
***
"Zahra, tentang kehilangan, enggak ada satu pun orang yang bisa mencegah. Enggak ada satu pun orang yang bisa disalahkan perihal kepergian."
Iris sayu yang masih menjatuhkan tangis itu mendongak. Ia menatap pada sepasang mata jernih di depannya. Ada binar menenangkan terpancar dari cara orang itu memandangnya.
"Kalau pun ada yang bisa disalahkan, semesta yang akan aku salahkan." Zahra membalas ucapan orang itu dengan bibir menyungging senyum pedih.
"Kenapa?"
Kali ini Zahra tidak langsung menjawab. Ia memberi jeda agar angin kencang sore itu dapat leluasa untuk berbisik dan membelai tubuh mereka. Agar langit di atas sana bisa bergemuruh tanpa sungkan. Kemudian, Zahra mengerjap lambat.
"Karena semesta itu jahat. Dia mengambil semua orang yang berarti di hidup aku. Dia bawa mereka pergi tanpa pernah sekali saja bertanya, apa aku siap? Apa aku bisa merelakan? Apa aku sanggup menjalani kehidupan? Semesta itu jahat. Dia jahat sekali ...."
Detik itu, tubuh Zahra ditarik lembut, didekap erat oleh seseorang yang sedari tadi tak lelah menemani, tidak menyerah agar bisa menenangkan segala resah di dada gadis itu. Karena ia sadar, yang Zahra butuhkan adalah teman untuk berbicara, untuk melepaskan apa-apa yang membuatnya sesak.
Ia tidak keberatan meski baju bagian depan miliknya telah basah oleh air mata yang berjatuhan, meski baju yang semula begitu rapi telah kusut sebab diremas dengan erat. Tidak apa-apa jika setelah itu Zahra bisa sedikit lebih tenang.
"Semesta itu enggak jahat, Zahra, pemikiran kita yang jahat. Dari kehilangan, kita belajar untuk mengikhlaskan. Belajar untuk memahami bahwa sekeras apa pun kita mempertahankan, jika memang sudah digariskan untuk pergi, maka akan begitu adanya." Orang itu menghela napas pelan, melonggarkan sedikit pelukan, lalu menghapus jejak air mata di pipi Zahra.
"Kamu harus merelakan, meski saat itu dunia kamu seakan runtuh. Terdengar begitu kejam, ya? Namun, dengan cara itu semesta menjadikan kamu untuk lebih tangguh."
Tanah pusara saat itu masih terasa lembab selepas diguyur hujan hingga sore menjelang. Rasanya baru kemarin ia kehilangan orang terdekat, kini haruskah Zahra kembali merasakan luka untuk hal serupa? Zahra tidak tahu bagaimana caranya agar bisa bernapas dengan lega.
Zahra mendekap erat batu nisan yang berdiri begitu tegak. Tangisnya telah berhenti, tetapi simpul yang mengikat erat dadanya tak henti membuatnya merasa sesak.
"Sekarang kamu juga ikut pergi. Kamu milih buat ninggalin aku juga. Jadi, semesta itu jahat, kan? Jahat banget, Gilang. Iya, kan? Jawab, Gilang, aku mau dengar kamu kasih pembelaan lagi. Aku mau dengar kamu yakinin kalau semesta itu baik. Ayo, Gilang."
Sayangnya, rintihan sore itu hanya berbalas desau angin. Semua orang telah pergi, maka seharusnya tidak alasan untuk Zahra tetap tinggal dan melanjutkan perjalanan, bukan?
"Gilang, aku juga ingin pergi. Aku enggak kuat buat berjalan sendiri. Enggak apa-apa, kan, kalau sekarang aku nyerah?"
***
Hai! Terima kasih sudah membaca bab ini! Semoga kamu suka, ya. 💖💖 Ah, iya, jangan lupa jaga kesehatan. Jangan lupa senantiasa bersyukur, ya. Tetap semangat dan sukses selalu, orang hebat.
Salam hangat,
Sugi ✨✨
KAMU SEDANG MEMBACA
SISA HUJAN SORE ITU
Teen Fiction"Bukan semesta yang jahat, tapi pemikiran kita."