BAB 04 - Baik-baik saja, kan?

17 3 10
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.

***

Kamu tetap bisa melakukan yang terbaik tanpa harus menyakiti diri sendiri.

**"

Dua hari ini, sebelum jadwal pemotretan tiba, Zahra benar-benar menepati janjinya. Ia menghabiskan waktu luang untuk melakukan olahraga berat selama mungkin. Gadis itu bahkan tidak peduli saat tubuhnya bergetar hebat sebab terlalu kelelahan. Karena dalam pikirnya, Zahra hanya ingin memberikan yang terbaik di sesi pengambilan foto nanti.

Ia tidak ingin membuat siapa pun kecewa.

"Zahra, berhenti! Lo sudah tiga jam olahraga!"

Seruan itu tidak memberi efek apa pun untuk Zahra. Sebab di detik berikutnya, gadis dengan setelan sport bra warna hitam berbahan Nike Infinalon fabric dipadukan celana legging berwarna senada itu tetap melanjutkan aktivitas. Telinganya seakan tak dapat menangkap gelombang suara dari orang lain, selain ucapan-ucapan yang menggema dalam kepalanya.

Kalau kamu gendut, kamu tidak akan bisa jadi model lagi. Kamu jelek!

Posisi kamu akan ada yang menggantikan.

Benar, Zahra tidak boleh terlihat gendut. Itu akan sangat menghambat karirnya di dunia modelling. Ia telah bersusah payah agar bisa mendapat kesempatan menjadi seorang model, maka sudah seharusnya ia juga berusaha semaksimal mungkin untuk mampu mempertahankan apa yang telah digapai olehnya.

"Gue bilang, berhenti!"

Kali ini seruan itu sangat kencang dan seiring dengan hal tersebut, mesin treadmill yang tengah digunakan oleh Zahra berhenti. Tanpa sempat mendengar protesan, pelaku lebih dahulu memeluk dan menarik tubuh Zahra agar menjauh dari tempat semula.

"Lo apa-apaan, sih? Gue belum selesai." Zahra berontak. Ia mencoba melepas pelukan dan berniat untuk kembali melakukan olahraga. "Lepas!"

Orang yang memeluk Zahra itu tertawa. "Lo lihat sendiri, kan? Bahkan untuk ukuran sesama cewek, gue bisa dengan mudah mindahin tubuh lo dari sana tanpa ngerasa capek. Lo tahu artinya apa? Lo udah terlalu kurus!"

Zahra pikir gadis itu telah usai berbicara, tetapi perkiraannya salah. Karena setelah terjeda beberapa detik, suara melengkingnya kembali terdengar dan berhasil mengambil atensi orang-orang yang ada di sana.

"Guess what! Gue bahkan enggak sekencang itu meluk lo, tapi lo enggak bisa lepas. Udah cukup jelas, kan, kalau lo lelah. Tubuh lo capek!"

Napas gadis itu terengah dan matanya menatap Zahra dengan kilatan amarah. Sungguh, ia tidak suka melihat Zahra seperti ini. Selama mengenal Zahra, ia tahu bahwa temannya itu memang si keras kepala yang memiliki ambisi tinggi dan dirinya paham. Namun, tidak untuk ambisi yang satu ini!

"Gue bahkan enggak ngerasa berat sama sekali, Zahra. Lo itu ringan! So, please. Buat hari ini tolong berhenti, ya? Lo udah berusaha semaksimal mungkin. Sebagai sahabat, gue bener-bener enggak suka lihat lo kayak tadi."

Setelah itu yang terdengar adalah tawa ringan Zahra. "Oke, gue minta maaf, ya? Gue cuma sedikit khawatir aja karena pemotretan nanti jauh lebih istimewa dan bayarannya mahal. Jadi, sudah seharusnya gue berusaha buat menampilkan yang terbaik, kan? Gue enggak mau bikin siapa pun kecewa," jelas Zahra sembari menatap alat-alat gym yang tersusun rapi di hadapannya.

"Bukan berarti lo berhak buat menyakiti diri sendiri, kan?" Orang itu—Alesha—kembali angkat suara. Ia mulai membereskan barang-barang. "Sekarang pakai lagi jaket lo, terus kita pulang dan mampir dulu ke restoran. Lo harus makan banyak!"

Zahra jelas tak terima mendengar ucapan itu. "Kalau gue makan banyak, itu artinya upaya gue hari ini dan kemarin bakalan sia-sia, dong."

Alesha berdecak pelan. "Sia-sia apa, sih? Porsi makan sekelas restoran enggak akan bikin lo gendut."

Jika sudah seperti ini, memangnya Zahra bisa apa selain menghela napas dan memilih untuk kembali bungkam. Alesha sedikit menyeramkan apabila sudah menampilkan wajah serius seperti tadi. Dengan begitu, Zahra mengangguk, lalu ikut berjalan keluar mengikuti langkah Alesha.

Seharusnya tadi Zahra tak mengizinkan Alesha untuk menyusulnya kemari jika tahu bahwa gadis itu akan sangat berisik melebihi Kak Tien. Untuk kesekian kalinya, Zahra membuang napas berat dan berjalan lagi melewati beberapa orang yang masih setia melakukan aktivitas fisik. Sesekali ia akan mengangguk dan tersenyum simpul sebagai bentuk penghormatan pada siapa aja yang tak sengaja berpapasan dengannya.

"Tadi gue udah kirim pesan ke Reynold buat jemput lo ke sini dan katanya sebentar lagi dia bakalan sampai," ujar Alesha tanpa menghentikan laju langkahnya.

Zahra mengernyit. "Kenapa suruh dia jemput? Kita bisa naik taksi, kan. Dia pasti lagi sibuk latihan konser."

"Lo tahu? Bahkan ketika dia lagi manggung di acara besar sekali pun, dia bakalan rela buat ninggalin itu kalau dapat kabar buruk tentang lo."

Memang iya?

Zahra sangsi mendengarnya, tetapi ia sedang kelelahan. Jadi, keputusan untuk memilih percaya saja sepertinya bukan hal yang buruk. Kemudian, mereka diam di depan bangunan dan sejurus dengan itu, sebuah mobil alya berwarna hitam berhenti. Mobil yang sudah sangat mereka hapal siapa pemiliknya—Reynold.

"Kata Nenek Lampir, kamu tadi olahraganya keterlaluan, ya?" Usai memarkirkan dengan benar, Reynold tergopoh menghampiri Zahra. "Kamu enggak perlu kayak gitu lagi. Sekarang, ayo, kamu harus makan yang banyak."

Laki-laki itu berpenampilan cukup rapi. Kaos hitam polos dipadukan celana jeans berwarna senada dan sepatu putih menjadi outfit yang dipilih olehnya. Ia menggenggam lembut tangan Zahra.

"Meski sebenarnya gue tersinggung banget dikatain Nenek Lampir sama titisan titan kayak lo, tapi gue setuju kalimat terakhir tadi. Zahra, lo harus makan yang banyak. Dan lo, Reynold, harus teraktir kita."

Lantas entah mengapa, Zahra malah merasa sedang berada di antara Mama dan Papa tiri. Mereka terlalu mengkhawatirkannya, padahal Zahra merasa masih kuat untuk satu jam ke depan. Meski benar ia kelelahan, rasanya dengan duduk dan meneguk segelas air bening sudah cukup untuk mengobatinya.

"Reynold, aku tahu kamu lagi sibuk latihan buat konser nanti. Kenapa maksain dateng ke sini? Tim kamu yang lain memangnya enggak keberatan kalau latihan tanpa kamu?" Zahra bertanya pelan.

Reynold tersenyum singkat. "Zahra, aku cuma izin sekali, kok. Lagian ini juga darurat. Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa apalagi sekarang keadaannya sedang bersama Nenek Lampir. Itu bahaya banget." Jeda tiga detik. "Jadi, kamu enggak seharusnya khawatirkan hal lain, oke? Sekarang kita cari makan, ayo!"

Usai pembicaraan selesai, mereka benar-benar beranjak dari sana. Mobil yang dikendarai oleh Reynold melaju, membelah jalanan Kota Bandung yang cukup lengang untuk menuju Eastern Restauran.

Mereka tiba satu jam setelahnya. Tiga porsi nasi putih dengan Black Pepper Beef menjadi menu yang dipilih. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Masing-masing di antara mereka memilih menikmati sajian dalam hening yang terasa damai.

Makanan milik Zahra telah habis. Gadis itu meneguk minumannya, lalu mendorong kursi yang tengah diduduki lantas berdiri, membuat atensi Reynold dan Alesha tertuju padanya.

"Aku izin ke toilet dulu."

Tanpa mendapat jawaban, Zahra pergi dari sana. Cukup lama gadis itu berada di balik ruang kamar mandi. Hingga ketika pintunya kembali ia buka, seseorang berdiri di sana dengan raut wajah khawatir.

"Kakak baik-baik saja, kan?"

Sore hari itu, Zahra tak mampu menjawab pertanyaan yang ditujukan untuknya. Ia hanya diam dalam keterpakuan.

Dia tidak mendengar apa pun, kan?

***

Alhamdulillah banget aku bisa selesaikan bab ini. Semoga kamu suka, ya. Gimana perasaannya ketika baca ini? Bosenin enggak, sih? Semoga enggak, ya. Hehe. Kalau ada kritik dan saran, jangan sungkan sampaikan. Aku akan menerima dengan senang hati. Sukses selalu, orang hebat.

Salam hangat,

Sugi ✨✨

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SISA HUJAN SORE ITUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang