BAB 02 - Perlakuan Berbeda

22 5 11
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.

Selamat membaca. 💖

***

Sebab, sebijak apa pun alasan seseorang memperlakukan berbeda, ketidakrelaan itu akan tetap ada.

***

Menjadi seorang model, bersekolah di salah satu SMA Swasta terbaik di Bandung adalah dua hal yang membuat hidup gadis itu bermakna. Ia tidak tahu harus bersyukur sebanyak apa sebab keinginannya begitu mudah Tuhan berikan.

Pagi itu Zahra berdiri di depan cermin. Kemeja putih dengan rok abu panjang telah melekat di tubuh rampingnya. Sebelum beranjak keluar kamar, ia sempat merapikan kembali penampilan, lalu pergi dengan menenteng dasi berwarna senada, abu.

"Selamat pagi, Ma, Pa."

Bukan Zahra yang berbicara, tetapi Arini, kakaknya. Gadis berusia tiga tahun lebih tua dibanding Zahra itu tersenyum ke arahnya dan berjalan lebih cepat, meninggalkan Zahra yang terdiam dengan bibir mengerucut.

"Kok, aku enggak disapa, sih, Kak?"

Pertanyaannya tidak mendapat jawaban. Arini hanya melirik sekilas sebelum akhirnya membantu Mama menata sarapan di meja makan. Di detik itu, Zahra menyimpan asal tas dan dasinya, lantas berniat untuk ikut membantu. Namun, sayangnya ucapan Mama membuat gerakannya seketika terhenti.

"Kamu duduk aja. Enggak boleh capek-capek, Zahra." Suaranya terdengar lembut, begitu menenangkan.

Pada akhirnya Zahra memilih duduk di seberang kursi yang diduduki Papa. Ia hanya mampu diam memperhatikan bagaimana interaksi kedua wanita cantik dengan balutan kerudung itu.

Kadang, Zahra acap kali bertanya dalam diam, mengapa hanya dirinya seorang dengan agama berbeda? Sempat beberapa kali mengajukan tanya perihal ini, tetapi Mama mau pun Papa tidak pernah mau untuk menjawabnya. Mereka hanya berdeham, lalu memilih mengganti topik pembicaraan. Dari hal itu, Zahra tahu bahwa mungkin ada beberapa pertanyaan yang sebaiknya hanya ia pendam.

"Mending Mama biarin Zahra biar ikut bantu juga. Kasihan Arini, dia belum benar-benar sembuh, seharusnya dia yang istirahat."

Detik itu, Zahra mendongak, menatap tepat pada sepasang iris kelam yang terlihat enggan menatap ke arahnya. Laki-laki dengan postur tinggi tegap itu tak mengalihkan pandang dari koran di genggaman. Ada nada dingin dari cara Papa berujar, hingga rasanya ... Zahra hampir beku mendengar ucapan itu. Kemudian, kelopak Zahra mengerjap lambat.

"Sini, Ma, biar Zahra bantu," katanya sembari beringsut dari duduk.

"Ya udah, tolong tuang air minum ke gelas Papa, ya, Zahra."

Senyum Zahra mengembang sempurna, sebelum akhirnya raut cantik itu berubah datar kala Papa kembali angkat suara.

"Enggak perlu. Minuman Papa biar Arini yang siapkan."

"Kenapa enggak sama Zahra aja, Pa? Zahra bisa, kok."

"Enggak usah."

Jadi, setelah ini apa? Zahra melirik ke arah Arini yang mengambil alih tugasnya. Dari tempatnya berdiri, Zahra bisa melihat dengan jelas bagaimana air muka Papa berubah cerah kala berinteraksi dengan Arini. Rasanya, ada setitik luka baru tumbuh di hati. Ada secuil perasaan iri yang membuatnya setengah mati menahan diri agar tidak mengutarakan apa pun.

Menit berganti, Mama meminta agar semua duduk di kursi masing-masing dan mereka mulai memakan sarapan yang telah disiapkan. Kemudian, denting sendok dibiarkan menjadi lagu pengiring dalam sepi pagi itu.

Tidak ada yang tahu, bahwa dalam diamnya, Zahra merasa sesak kala melihat Papa memberi satu buah kado untuk Arini, sebelum laki-laki itu bangkit lebih dahulu dan pamit menuju kantor. Lagi-lagi, tanpa melihat ke arahnya. Zahra merunduk.

"Kamu, kan, sudah punya uang sendiri, Zahra. Jadi, kamu pasti mampu membeli apa pun yang kamu mau."

Iya dan seharusnya Zahra baik-baik saja, kan? Ia bisa membeli apa pun keinginannya tanpa harus meminta. Namun, entah mengapa, di sudut terdalam hati milik Zahra, ia kesakitan. Ia tak rela diperlakukan berbeda.

Mengabaikan riuh kesakitan di dada, Zahra memilih menjawab ucapan Papa dengan riang. Kali ini, ia biarkan segala lukanya menjadi rahasia.

"Iya, Pa, enggak apa-apa, kok. Papa benar, aku bisa membeli apa pun keinginanku." Tetapi tidak dengan perhatian Papa.

Kalimat itu tertahan di tenggorokan. Tak mungkin, kan, Zahra mengatakan hal demikian? Lebih baik ia diam, sebab nyatanya, Papa lebih menyukai Zahra yang pendiam tanpa banyak berbicara, apalagi menuntut apa-apa.

Setelah itu, Mama mengantar Papa ke depan gerbang, meninggalkan Zahra dan Arini yang melanjutkan makan tanpa saling berujar. Pada suapan terakhirnya, Zahra bangkit dari duduk, lalu berjalan menuju toilet. Ia sempat menepuk pelan tangan Arini sebelum benar-benar meninggalkan dapur.

Beberapa menit terlewati, Zahra kembali dengan raut wajah jauh lebih segar. Senyumnya sempurna mengembang, menampilkan satu lesung pipi di sebelah kanan muncul begitu cantik.

"Aku mau berangkat dulu, Ma, Kak," ujarnya sembari meraih tas dan dasi yang masih belum sempat ia pasangkan.

Mama berjalan mendekat. "Sini, biar Mama pasangkan dasinya."

Hal semanis itu, tidak mungkin Zahra tolak, kan? Maka dengan begitu saja, Zahra mengangsurkan dasi dan membiarkan jari-jari Mama bergerak memasangkannya.

"Terima kasih, Ma." Kalimat itu diucapkannya dengan kedua iris berbinar.

Zahra selalu percaya bahwa sesakit apa pun hatinya beberapa waktu lalu, akan selalu ada hal lain yang mampu menyembuhkannya, seperti saat ini. Dipaksa menelan kenyataan jika Papa tetap akan memberi perlakuan berbeda, Zahra jelas kesakitan, tetapi di saat bersamaan, Mama mampu menghapus segala pedih yang ia rasa.

Pagi itu, Mama membuat hatinya kembali bahagia.

***

Alhamdulillah banget aku bisa selesaikan bab ini. Semoga kamu suka, ya. Gimana perasaannya ketika baca ini? Bosenin enggak, sih? Semoga enggak, ya. Hehe. Kalau ada kritik dan saran, jangan sungkan sampaikan. Aku akan menerima dengan senang hati. Sukses selalu, orang hebat.

Salam hangat,

Sugi ✨✨

SISA HUJAN SORE ITUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang