Bismillahirrahmanirrahim.
Selamat membaca. 💖
***
Kesempurnaan adalah ketika kamu mampu menerima dan bersyukur atas segala hal yang kamu punya.
***
"Oke, ganti gaya!"
Siang itu ruang studio ramai seperti biasanya. Dua buah softboxs berdiri tegak di sisi kiri dan kanan, lampu-lampu menyorot begitu terang. Kemudian pada bagian tengah, satu buah kursi dengan panjang seratus sentimeter terlihat tengah diduduki seseorang. Ia menggerakkan tangannya, menyentuh sisi-sisi wajah, berusaha agar hasil pemotretan nanti jari-jarinya terlihat lentik. Gadis itu sedikit mendongak dengan bibir menyungging senyum tipis.
"Dagunya angkat, tahan."
Seiring dengan seruan itu, lampu kamera menyala, mengabadikan setiap pose terbaik yang dilakukan olehnya, sempurna. Fotografer tersebut menurunkan kamera, lalu berjalan perlahan mendekati modelnya lantas memberi tepukan halus di puncak kepala.
"Kita sudah dapat foto terbaik hari ini, Zahra, jadi kamu boleh istirahat." Ia memberi jeda dan mundur dua langkah. Iris hitam itu bergerak naik-turun memperhatikan modelnya, memastikan berkali-kali bahwa apa yang sedari tadi mengganggu pemikirannya itu tidak salah. "Kamu sering makan malam, ya? Tangan bagian atas kamu agak gendutan, pipi kamu juga sedikit berisi sekarang."
Zahra tidak tahu harus merespon seperti apa ucapan fotografernya. Ia hanya membuka mulut, lalu menilik kedua tangan, dan menepuk-nepuk pipi. Kemudian, kelopak matanya mengerjap pelan. Terlalu terkejut mendapati informasi tersebut. Bagaimana ia bisa begitu lalai tentang hal ini?
"But, it's okay! Kamu masih punya waktu tiga hari untuk berolahraga sebelum nanti kita kembali berdiri dan foto lagi di tempat yang lebih mewah dibanding ini dengan bayaran yang jauh lebih mahal." Sekali lagi, Irham-fotografer-mengelus lembut pipi Zahra. "Zahra, kamu tidak lupa, kan, bahwa seorang model adalah simbol dari kesempurnaan? Jadi, kamu harus benar-benar merawat bentuk tubuh. Karena kalau tidak, posisi kamu banyak sekali yang ingin menggantikan."
Zahra mengangguk mengerti. "Aku janji, Kak, bakalan sering olahraga biar tetap bisa pertahankan bentuk tubuh. Aku minta maaf kalau hasil foto sekarang kurang memuaskan."
Ia benar-benar mengerti perihal ini. Ketika memutuskan untuk terjun di dunia modelling, kesempurnaan akan selalu dituntut dalam hidupnya. Ia tidak akan pernah bisa bebas dalam hal apa pun.
Rasanya sedikit sulit, tetapi karena Zahra mencintai segala hal tentang aktivitas ini, maka sesulit apa pun, ia akan berusaha. Sekalipun nanti ia harus memangkas lebih banyak jatah kalori yang diserap oleh tubuhnya. Itu lebih baik dibanding kehilangan pekerjaan, kan? Zahra tersenyum getir. Benar, ia tidak boleh kehilangan pekerjaan ini.
"Hai, Zahra cantik!"
"Hallo, Kak Tien!"
Zahra bangkit dari duduk. Ia melambai riang, lalu berjalan antusias mendekati Tien-manajernya. Iris berwarna cokelat itu berbinar, ia menyambut hangat pelukan dari Tien.
"Kakak udah bawain buku-buku Zahra, kan?" tanyanya sambil melepas pelukan. "Zahra sekarang bersihin make up dulu, ganti baju, setelah itu anterin ke sekolah, ya. Hari ini Zahra ada ujian."
"Aman! Kakak udah siapin semuanya." Tien menggenggam salah satu tangan Zahra dan menatapnya lembut. "Tadi Kakak habis ketemu sama Irham di ruang depan. Dia tegur kamu gara-gara tangan dan pipi kamu kelihatan lebih berisi, ya? It's okay, Zahra, jangan terlalu dipikirkan. Kesehatan kamu lebih penting. Oke?"
Hanya anggukan dan seulas senyum yang Zahra beri sebagai jawaban. Ia balas menggenggam hangat tangan Tien, lalu pamit untuk memasuki salah satu ruang ganti. Ia berlalu meninggalkan Tien yang masih setia menatap punggungnya.
Dua tahun menjadi manajer Zahra, Tien tahu pasti bahwa gadis itu tidak bisa jika harus diet ketat. Maka ketika mendengar perkataan Irham, ia khawatir, ia takut apabila Zahra memaksakan diri untuk diet demi menjaga bentuk tubuhnya.
Dengan begitu saja, Tien berderap dan menghampiri Irham.
"Kenapa lo ngomong kayak gitu sama Zahra? Lo tahu sendiri, kan? Model lo itu sakit mag. Gimana kalau setelah denger omongan lo, dia memaksakan diri buat diet? Sekarat, gila!"
Irham melirik sekilas, lalu kembali fokus pada kameranya. "Bisnis, ya, bisnis. Kesempurnaan dalam dunia model itu tetap jadi poin penting. Kalau dia udah enggak bisa penuhi itu, silakan mundur. Masih banyak yang ingin dan sanggup buat ada di posisi ini." Terdengar hela napas kasar. "Jangan karena lo adalah manajernya, lo jadi belain dia. Padahal lo sendiri tahu dan paham tentang kriteria seorang model yang bisa penuhi minat pasar."
"Tapi-"
"Kalau dia enggak sanggup, silakan cabut dari agensi gue."
Saat itu, Zahra mendengar semuanya, begitu jelas. Ia mengepalkan jari-jari tangan yang bergetar. Ada ketakutan besar di dada. Zahra tidak ingin jika harus kehilangan pekerjaan ini. Maka dengan begitu saja, Zahra bertekad akan melakukan apa pun, bahkan ketika ia harus menyakiti dirinya sendiri.
***
Masyaallah, alhamdulilah udah bisa update. Semoga suka, ya. Jangan lupa vote dan komentar. Ah, iya, sekarang lagi musim sakit, kah? Soalnya banyak yang sakit, termasuk keluarga aku. Huhu. Ayo, kita doakan sama-sama semoga segala yang sakit, lekas sembuh dan pulih. Aamiin. Jaga kesehatan! Sukses selalu, orang hebat!
Salam hangat,
Sugi ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
SISA HUJAN SORE ITU
Teen Fiction"Bukan semesta yang jahat, tapi pemikiran kita."