Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Semesta itu adil dalam membagi luka juga bahagia.
***
Segala tentang Zahra adalah sempurna. Gadis dengan tinggi mencapai seratus enam puluh lima sentimeter di usianya yang baru menginjak tujuh belas tahun itu selalu tampak menonjol dalam bidang apa pun. Ia meraih banyak prestasi, menjadi murid dengan perolehan nilai tertinggi setiap tahunnya di sekolah. Beralih dari hal itu, keluarganya juga utuh. Ia tak pernah terlihat menunjukkan raut sedih pada siapa pun. Benar, memang sudah sewajarnya Zahra selalu bahagia.
Memangnya, orang tak bersyukur seperti apa yang bersedih di saat segala yang dimilikinya nyaris sempurna?
Setidaknya, itu adalah pemikiran dari kebanyakan orang mengenai Zahra. Tidak satu pun di antara mereka mengetahui, bahwa di balik kata sempurna yang digaungkan untuknya, Zahra menyimpan banyak luka. Zahra menelan semua kesakitan dan menikmatinya seorang diri.
"Wah, gila, sih! Jam tangan lo baru lagi, Zahra?"
Karena tangannya ditarik sedikit kasar, Zahra tersentak kecil. Ia mengerjap lambat, lalu tertawa ringan.
"Padahal kemarin bukan yang ini, loh, modelnya. Serius! Yang kemarin aja masih bagus banget. Kenapa ganti?"
"Karena ... gue bosen?"
Di detik itu, Alesha-sahabat baik Zahra-mendengkus pelan. Ia melepas genggamannya di pergelangan tangan Zahra. Kemudian, gadis dengan rambut diikat tinggi itu bersiap mengeluarkan segala kalimat yang telah disusun rapi untuk menceramahi Zahra. Namun, sebelum semua terlontar, Zahra mengangkat suara terlebih dahulu.
"Enggak! Gue becanda, Alesha. Ini hadiah dari Kak Tien. Enggak mungkin, kan, kalau cuma gue simpan tanpa dipakai? Itu namanya gue tidak menghargai pemberian orang, kan?"
Mata Alesha memicing, tampak meragukan tentang kalimat yang Zahra ucapkan. Detik berikutnya, gadis itu memilih untuk mengedik lantas memeluk Zahra tiba-tiba. Ia menggerakkan tangannya ke kiri dan kanan, membuat tubuh Zahra juga ikut bergerak ke arah yang sama.
"Lo bahagia, kan? Kalau lo bahagia, enggak apa-apa. By the way, gue udah lihat hasil pemotretan lo kemarin! Aduh, gue pernah berbuat baik semacam apa, ya, bisa-bisanya temenan sama orang sesempurna lo! Beruntung banget tahu enggak, sih?" Alesha tersenyum lebar. Ia makin mengeratkan pelukan.
Zahra tidak tahu harus bagaimana membalas ucapan Alesha, karena tiba-tiba saja segala susunan kata yang ia miliki itu hilang. Dengan begitu, Zahra memilih untuk balas memeluk Alesha sama eratnya. Jika Alesha mengaku beruntung bisa bersahabat dengannya, tentu saja Zahra adalah pihak dengan persentase keberuntungan lebih tinggi. Sebab mengenal Alesha, Zahra lupa dengan sedihnya, Zahra tidak mengingat jika beberapa waktu lalu ia sempat merasa kesakitan. Lukanya seakan hilang.
"Maaf, boleh gantian enggak, ya, peluk Zahra? Soalnya, saya sebagai pacarnya saja belum pernah dapat kesempatan buat peluk dia."
Suara itu menginterupsi Zahra dan Alesha. Membuat pelukan yang sempat bertahan beberapa menit itu terurai. Kemudian, dalam waktu bersamaan, Zahra mau pun Alesha mengalihkan pandangan, menatap seseorang yang berdiri tegak di samping meja dengan bibir tersenyum lebar.
Laki-laki itu menarik kursi yang ada di depan meja Zahra, lalu memilih untuk mendudukkan diri di sana. Ia mengeluarkan sebatang cokelat dan mengangsurkan pada Zahra yang masih terdiam dengan senyum tertahan, cantik. Tanpa sadar, jari-jari tangannya bergerak untuk mengelus lembut pipi Zahra.
"Aduh! Mohon maaf di sini masih ada Alesha cantik yang tidak ingin jadi nyamuk di antara kalian, ya."
Jari Alesha teracung, menunjuk Zahra dan laki-laki yang mengaku sebagai pacar Zahra secara bergantian. Kesal, sepagi ini Alesha harus melihat adegan romantis yang sialnya kerap kali ia juga mengharapkan perlakuan seperti itu dari seseorang. Sayangnya, gadis berkulit putih itu belum terikat status dengan siapa pun.
"Hari libur besok kamu sibuk enggak?" Mengabaikan ucapan Alesha, Reynold-pacar Zahra-kembali mengajak Zahra berbicara. Ia mengajukan tanya sembari menatap lekat kedua iris indah milik Zahra. "Kalau enggak sibuk, aku mau ngajak kamu jalan. Bisa, ya?"
Zahra tampak tengah menimang sesuatu usai kalimat tanya dari Reynold terlontar. Ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memberi anggukan sebagai jawaban. Tangan gadis itu bergerak untuk menyelipkan rambutnya yang terjuntai ke belakang telinga.
"Jadwal aku kosong, kok. Kita bisa pergi, tapi ... aku boleh ajak Alesha, kan?" Mata Zahra berbinar kala berujar.
"Kenapa ngajak dia? Kamu enggak kasian emang, kalau nanti dia di sana jadi nyamuk?" Reynold balik bertanya.
Alesha mendengkus kesal. "Iya! Nanti di sana gue bakalan jadi nyamuk! Nyamuk Aedes aegypti, terus gue sedot, deh, darah kalian berdua. Biar mampus, dah!"
Detik itu, kotak tertawa Zahra dan Reynold terbuka. Mereka terbahak kencang dengan Alesha yang semakin merasa kesal. Melihat situasi seperti itu, Reynold kian menunjukkan sikap romantis terhadap Zahra. Sengaja, agar Alesha kian kepanasan.
"Enggak ada akhlak banget, ya, kalian!" Alesha meraung dan menarik-narik rambut Reynold.
"Jomlo!"
Zahra telah usai tertawa. Ia mengusap sudut mata yang sedikit mengeluarkan cairan, saking puasnya terbahak. Kemudian, irisnya menyorot Reynold dan Alesha secara bergantian dengan perasaan yang kian meringan.
Di antara kesakitan yang kerap kali ia dapatkan dari rumah, bersama Reynold dan Alesha, Zahra mampu bertahan. Benar, semesta memang seadil dan sebaik hati itu dalam membagi luka dan bahagia. Tidak ada yang harus Zahra lakukan selain mensyukuri, bukan?
Detik berganti, Zahra menyentuh tangan Reynold dan Alesha lantas menggenggamnya erat. "Terima kasih, ya, kalian. Gue bersyukur banget punya kalian."
"Sama-sama, By. Aku juga bersyukur banget punya kamu, tapi kenapa kamu harus temenan sama lampir, sih?" tanya Reynold yang kontan mendapat lemparan buku dari Alesha.
"Gue terus!"
***
Alhamdulillah banget aku bisa selesaikan bab ini setelah berabad-abad menghilang. Haha, maafkan. Semoga kamu suka, ya. Gimana perasaannya ketika baca ini? Bosenin enggak, sih? Semoga enggak, ya. Hehe. Kalau ada kritik dan saran, jangan sungkan sampaikan. Aku akan menerima dengan senang hati. Sukses selalu, orang hebat.
Salam hangat,
Sugi ✨✨
KAMU SEDANG MEMBACA
SISA HUJAN SORE ITU
Teen Fiction"Bukan semesta yang jahat, tapi pemikiran kita."