1.1

4.5K 264 16
                                    

PART 1.1

"Aku gak ngerti, kenapa sih masih banyak orang tolol yang suka seenaknya nyalip di tengah jalan macet kayak gini!" gerutu seseorang yang ada di sampingku, membuat aku menoleh ke arahnya. "Kamu lihat kan, Ran, mereka malah semakin membuat jalanan ini macet! Dasar otak udang, tolol!"

Aku mendesah dalam hati. Arya-lelaki yang sedang menyetir di sebelahku ini memang memiliki sifat yang cukup buruk. Dia kasar, tidak sabaran, dan emosinya sangat besar. Amarah Arya mudah sekali tersulut hanya karena hal-hal sepele, contohnya hari ini.

Aku tidak pernah mengerti mengapa aku harus terjebak dengan lelaki sepertinya.

"Dasar kampungan!"

"Sabar, Mas," ucapku menenangkan.

Aku cukup pusing mendengar Arya mengeluh sejak tadi. Padahal, meski dia mengamuk sekali pun, semua pengendara sepeda motor itu tidak akan peduli. Mereka tetap akan menyalip untuk sampai ke tempat tujuan mereka.

"Bentar lagi jalanannya lancar kok."

"Ck!" Arya berdecak keras, membuatku mendadak takut. "Kamu nyuruh aku sabar?!" sentaknya. "Kamu tau, orang-orang tolol kayak mereka itu gak pantes punya kendaraan! Nyusahin orang lain aja."

Sombong dan arogan.

Lagi-lagi itu berhasil membuatku membuang napas dengan helaan kasar. Mungkin kami memang cocok, dia yang pemarah dan tidak sabaran bersanding dengan diriku yang selalu mengalah dan tidak suka keributan.

Iya.

Mungkin.

Sesekali aku melirik Arya yang sedang menggerutu tidak jelas dengan tangan menekan klakson berulang-ulang.

Menyedihkan, jadi seperti ini calon suamiku?

"Ini juga gara-gara kamu, Ran."

Ya ... aku sudah menduga akhirnya akan seperti ini.

"Kalo aja kamu gak kesiangan, kita gak akan kejebak macet!"

Dimana buntut dari permasalahan ini adalah kesalahan aku. Arya sering menyalahkan aku untuk hal-hal spele saat tidak ada satu orang pun yang bisa ia salahkan. Begitulah alurnya.

"Maaf," ujarku mengalah. Aku berusaha sabar untuk menerima semua kelakuan Arya sampai jalanan kembali sedikit lebih lancar.

Namun di tengah-tengah kepadatan lalu lintas itu, tiba-tiba ada sebuah sepeda motor yang bergerak cepat menyalip dari arah belakang, lalu tanpa diduga motor tersebut menyenggol spion mobil Arya hingga pecah.

"Anjing!" Teriakan dari lelaki di sampingku ini sontak membuat aku tersentak seraya menekan dadaku yang berdetak cepat. "Buta kali nih orang!" sungutnya berapi-api.

Aku mendadak gelisah, takut terjadi hal buruk mengingat Arya yang tidak bisa mengontrol emosinya.

"Mas ...."

Arya kini mulai menepikan mobilnya ke bahu jalan, dan si pengendara motor yang telah menyenggol spion mobil Arya itu juga berhenti tidak jauh di depan mobil kami.

"Mas, jangan emosi," kataku berusaha menenangkan.

Tapi sepertinya amarah Arya sudah tidak bisa ditahan. Lelaki itu bahkan hanya menoleh sekilas ke arahku sebelum kemudian membuka pintu mobil dengan gerakan kasar.

Aku yang tahu semua ini akan berakhir dengan keributan memilih untuk ikut turun dan menghampiri mereka berdua.

"Tolol lo ya?"

Kata-kata itu yang pertama kali aku dengar saat keluar dari dalam mobil. Semoga saja pengendara motor itu tidak ikutan emosi setelah mendengar kata-kata Arya.

"Jangan kasar, Mas." Aku kembali mencoba menenangkan, takut terjadi baku hantam yang mungkin tidak bisa aku lerai.

Pengendara motor itu melepas helmnya lalu menghampiri kami. "Waduh ... maaf banget, Mas, saya kira tadi nyalipnya lancar, gak taunya kena mobil Mas," katanya dengan cengiran tipis.

Aku membelalak, sedikit terkejut dengan mulut terbuka lebar setelah mendengar balasan dari pengendara motor itu.

Dia sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Arya, malah tampak santai dan tenang, berbeda sekali dengan Arya yang sudah menggebu-gebu.

Ngomong-ngomong, pengendara motor itu adalah seorang laki-laki. Wajahnya terlihat lebih muda dari kami.

"Lo tolol!?" Benar saja, Arya memang tidak bisa menahan emosinya. Aku menarik lengan lelaki itu saat dia mulai memajukan tubuhnya penuh arogansi. "Naek motor tuh pake otak! Lo lihat tuh mobil gue! Lo tau gak itu mobil mahal"

Kupejamkan kedua mataku sebentar, lalu menghela napas yang terasa sangat berat untuk keluar dari bibirku.

Aku malu.

Sungguh.

"Yah ... Mas, kalo saya naek motor pake otak, kapan sampenya?"

Sontak membelalak-sepertinya bukan hanya aku yang terkejut mendengar jawaban itu, tapi Arya yang emosinya sudah berkobar pun terlihat terkejut. Malah membuatnya semakin menggebu-gebu.

"Lo nantang?"

Kulirik sebentar ke arah pengendara motor itu, sebelum beralih pada Arya. "Mas, sabar. Jangan emosi gitu dong," ujarku kembali menenangkan, meski sebenarnya itu tidak pernah berhasil.

"Kamu diem aja, Ran " Arya menyentak tanganku kasar hingga membuat lelaki yang berdiri di depan kami menatapku.

"Jangan kasar sama cewek, Mas," belanya tak suka. "Gini deh, saya tanggung jawab kok. Masnya gak usah ngegas gitu dong, kayak pembalap aja."

Seriously? Lelaki ini benar-benar terlalu santai menanggapi semua ucapan Arya yang menurutku sudah keterlaluan. Arya membentaknya, bahkan menghina lelaki itu. Tapi ... dia masih saja membalas dengan nada santai dan jenaka.

"Ya haruslah! Lo harus tanggung jawab." Arya menggeram, "lo itu udah buang-buang waktu gue cuma untuk ngurusin masalah kayak gini. Gue orang sibuk!"

"Emang masnya aja yang sibuk, saya juga. Udah ditunggu nih sama petinggi kampus." Aku tidak tahu ucapannya benar atau tidak, tapi aku bisa menangkap ada nada nyeleneh dan meledek dari ucapannya.

"Waktu saya juga kebuang, Mas, kalo saya mau kabur sih bisa aja, ini kan saya tanggung jawab. Ya gak, Mbak?"

Mataku melebar seketika, terlalu terkejut saat lelaki itu beralih padaku dengan tiba-tiba. Aku mendadak gugup di detik mata kami bertemu.

"Lo tau—" kalimat Arya tertahan saat ponsel yang berada di dalam kantung celananya berdering.

Aku tahu itu pasti panggilan dari kantornya. Ucapan Arya tentang dirinya yang sibuk memang benar. Hampir selama enam hari dari seminggu laki-laki itu menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja. Bahkan mungkin ia lupa kalau memiliki aku sebagai tunangannya.

"Mas, kamu urus pekerjaan kamu dulu aja. Biar ini aku yang tanganin." Aku mencoba menawarkan diri untuk membantu menyelesaikan masalah ini. Karena jujur, jika Arya yang menyelesaikannya, masalah kecil akan dia buat menjadi besar. "Kamu tenang aja ya."

Dia pun setuju dengan menganggukan kepala lalu mulai menjawab panggilan yang masuk pada ponselnya.

****

APPEALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang