4.2

1.6K 154 4
                                    

PART 4.2

Bukan hanya Rasya yang kini terkejut, aku pun ikut terkejut karena baru menyadari apa yang telah aku katakan pada lelaki itu.

Ya Tuhan ... aku mengajak seorang laki-laki masuk ke dalam apartemenku?

Refleks aku menggigit bibir bagian dalamku dengan kuat. Rasanya aku seperti tersihir.

"Ng-gak usah, Mbak." Baru kali ini-selama kami berkenalan, aku melihat Rasya berubah gugup. Lelaki itu sampai menggaruk tengkuknya hanya untuk menutupi aura canggung di antara kami.

Baiklah, sudah terlanjur aku mengajaknya, aku tidak mungkin berubah pikiran kan?

"Sebentar aja, sampai hujannya berhenti." Aku melirik jam di pergelangan tangan. Arya tidak mungkin datang ke tempatku malam ini. Jadi tidak akan menjadi masalah kalau aku membawa Rasya masuk?

"M-Mbak ... tapi-" ucapan Rasya terhenti saat aku kembali naik ke atas boncengannya.

"Motor kamu parkir di basement aja," pintaku.

Rasya mengangguk kaku, lalu mulai menyalakan mesin motornya dan menuruti perintahku untuk masuk ke dalam parkiran basement.

Dari parkiran basement, kami naik ke lantai tujuh untuk tiba di unit apartemenku. Rasya berulang kali mengatakan tidak enak sudah menyusahkanku, tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mungkin membiarkannya menunggu hujan di luar sendirian seperti itu. Udara malam ditambah dengan angin benar-benar sangat dingin.

Saat aku membuka pintu dan mempersilakannya masuk, Rasya langsung mengangguk canggung. Ternyata, lelaki seperti Rasya bisa gugup juga ya?

"Duduk, Sya ...."

Hanya ada satu sofa panjang di dalam apartemenku, Rasya mengangguk dan mendudukan tubuhnya di sana.

Tak lama, Miyaw-kucing kesayanganku berlari keluar dari kandang. Aku pikir Miyaw akan menghampiriku, tapi sesaat aku berjongkok untuk menyambutnya, kucing anggora dengan bulu berwarna putih itu malah menghampiri Rasya yang sedang duduk di sofa. Dengan cepat Miyaw melompat ke pangkuan lelaki itu.

"Wah, ini kucing lo, Mbak?" Rasya berseru heboh sambil mengusap kepala Miyaw dengan lembut. "Bagus banget."

Aku terpaku dengan tubuh yang perlahan berdiri memandangi interaksi Rasya dan Miyaw.

Tunggu.

Miyaw bukan kucing genit yang bisa dekat dengan sembarang orang. Bahkan dengan Arya saja dia bisa berubah galak dan menyeramkan.

"Mbak, kucing lo lucu banget sih. Lo kasih nama? Siapa namanya?" Rasya bahkan menggendong Miyaw dengan mudah, tidak membuat kucing itu mengeong atau mencakarnya. "Mbak?"

"Ya?" Aku terhenyak dan buru-buru kembali pada kenyataan. Mataku masih terarah pada Miyaw yang bersikap manja di atas pangkuan Rasya. "Namanya Miyaw."

"Miyaw?" Rasya mengulang dengan kekehan geli. "Lucu banget sih namanya. Hei, Miyaw, kenalan dulu dong." Rasya mengusap bagian leher Miyaw, membuat kucing itu keenakan. "Nama gue Rasya, Kamadia Rasya," ucapnya memperkenalkan diri.

Aku masih terpaku pada kedekatan keduanya, hingga tanpa sadar bibirku menggumamkan kembaki nama lelaki itu.

Kamadia Rasya.

"Namanya bagus."

"Ha? Apa, Mbak?" Rasya mengangkat wajahnya dan memandangku bingung. Ternyata tadi dia mendengar gumamanku. "Lo ngomong sama gue?"

Aku menggeleng, mencoba mengelak. "Nggak. Saya buatin kamu teh dulu ya."

"Gak usah repot-repot, Mbak. Ditampung di sini aja gue udah seneng."

Aku mendesah geli. "Saya harus memperlakukan tamu dengan baik, apalagi tamunya udah anter saya pulang tadi."

"Kan nganter lo udah tanggung jawab gue, Mbak."

"Ya anggap aja menjamu kamu saat ini juga menjadi tanggung jawab saya."

Seraya bersuara, aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam pantry. Aku membuka lemari dan mengambil cangkir dari dalamnya.

"Iya deh, Mbak. Kapan lagi kan gue dibuatin teh anget sama cewek cakep. Biasanya dibuatin teh angetnya sama Mpok Indun, udah mana ngutang dulu lagi gue."

Aku terkekeh geli mendengar celotehannya itu. Dari dalam pantry aku masih bisa melihat Rasya yang sedang bermain dengan Miyaw. Selain Ayah dan Arya, Rasya adalah lelaki pertama yang aku izinkan untuk masuk ke dalam apartemenku.

Aku kembali mendrobrak segala hal yang telah aku batasi dalam hidupku. Salah satunya membawa lelaki lain ke apartemen ini. Rasya sudah membuat garis pembatas itu menjadi samar, dan aku takut kalau semakin lama akan semakin memudar.

Selesai membuatkan teh hangat untuk Rasya, aku kembali ke tempat lelaki itu, meletakan secangkir teh yang kubuat di depannya.

"Minum dulu, Sya."

"Makasih, Mbak," ujarnya seraya menyeruput teh itu dengan nikmat. "Wahhhh, enak banget. Beda sama buatan Mpok Indun."

"Apa bedanya?" Aku mendudukan tubuhku di sofa yang sama dengan Rasya, mengambil jarak sedikit karena memang hanya ada satu sofa di dalam apartemenku.

"Kalo buatan Mpok Indun bikin gue gak tenang, Mbak. Kalo buatan lo bikin gue lega."

Aku mendengus geli, sudah tahu maksud ucapan lelaki itu kali ini. "Karena buatan Mpok Indun masih ngutang kan? Kalo buatan saya gratis," ledekku yang membuatnya menyengir.

"Nah ... itu maksud gue," kekehnya lucu. "Kok lo bisa tahu si Mbak? Lo bisa baca raut muka ya?"

Jika dilihat-lihat, Rasya memiliki garis rahang yang keras. Wajahnya perpaduan manis dan tampan. Matanya tidak terlalu sipit, tapi siapa pun yang masuk ke dalamnya, pasti tidak akan bisa keluar. Rasya sangat karismatik.

"Lima jam sama kamu membuat saya tertular virus konyol kamu."

"Eeh, mana adanya virus konyol." Dia memprotes. "Itu karena lo udah terlalu nyaman sama gue, Mbak. Emang sih, gue nyamanin banget, kayak sprei kintakung."

Aku menggeleng lelah. "Kamu memang gak ada capeknya ya? Kamu gak berhenti berbicara sejak tadi."

"Gue udah terlatih, Mbak. Gue kan mantan tukang obat."

"Kamu jualan obat?"

Rasya sontak tergelak setelah aku melemparkan pertanyaan seperti itu.

Kenapa dia tertawa? Tidak ada yang salah kan dari pertanyaanku?

"Lo serius banget sih, Mbak?" kekehnya. "Gue kan cuma becanda." Sontak aku merengut dengan bibir yang mencebik.

Harusnya aku sudah tahu kalau Rasya tidak akan serius dengan ucapannya. Lelaki itu gemar bercanda dan menggombal, pantas kalau dia dijuluki tukang obat.

Ck!

****

APPEALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang