3.2

1.7K 199 11
                                    

PART 3.2

Hampir sepuluh menit berkendara, dan diselingi dengan obrolan seru-tapi selalu Rasya yang lebih banyak bersuara-akhirnya kami tiba di kedai es krim yang lelaki itu maksud. Bangunan dengan dua lantai yang berdiri di tengah-tengah pusat kota itu terlihat penuh dan didominasi oleh anak muda, khususnya anak kuliahan seperti Rasya.

Katanya, kedai es krim itu sangat digemari oleh sebagian mahasiswa karena harganya yang murah dan tempatnya yang Instakilo-able sekali. Mereka bisa berfoto dengan latar kedai yang berwarna warni.

"Ayo, Mbak."

Rasya mengajakku untuk duduk di meja yang berada di sudut ruangan. Suara bising dari orang-orang yang ada di sana langsung menyambar indera pendengaranku.

Jujur, aku baru pertama kali datang ke tempat tongkrongan anak muda seperti ini. Aku tidak tahu kalau tempat seperti ini memang ada. Lalu bau asap rokok mulai membuatku tak nyaman.

"Rasya ...." aku memanggil Rasya yang akan beranjak untuk memesan.

Dia lantas menoleh. "Kenapa, Mbak?"

"Di sini gak ada no smoking area ya?"

Aku bisa melihat wajah Rasya yang sedikit terkejut sebelum akhirnya dia menatap sekeliling. "Lo alergi asep rokok ya, Mbak?" tanyanya dengan raut bersalah. "Mau pindah aja?"

"Nggak." Aku buru-buru menyanggah. "Saya gak masalah, cuma sedikit kurang suka sama asap rokok."

"Ya udah, kalo gitu kita pindah aja, cari tempat yang lo suka. Di sini gak ada no smoking areanya. Gue takut lo kenapa-napa."

Aku menahan pergelangan tangan Rasya saat cowok itu hendak mengambil kunci motornya. "Saya gak masalah kok. Saya gak alergi asap rokok, cuma ... kurang terbiasa."

"Tapi lo terganggu. Mending pindah aja deh, Mbak. Lo gak usah mikirin kantong Mahasiswa kayak gue, uang gue banyak kok."

Aku terkekeh menanggapi ucapan Rasya barusan. "Saya tahu uang kamu banyak."

"Ya udah, kalo gitu kita pindah aja."

"Tapi saya suka tempat ini, lagi juga kita udah sampe, udah dapet tempat duduk. Kamu bilang di sini susah dapet tempat duduk kan?"

"Iya sih, tapi gue beneran gak tahu kalo lo gak suka asap rokok."

"Gak masalah, saya juga mau nyobain jadi anak muda beberapa jam aja. Muka saja gak kelihatan tua kan masuk sini?" selorohku mencoba membuat Rasya tenang. Karena sesungguhnya bukan salah dia, aku yang memang tidak memberitahu Rasya kalau aku kurang suka bau asap rokok.

"Ck, merendah lo mah, Mbak ... muka masih kayak anak SMA gitu juga. Lo pake seragam sekolah juga masih cocok, Mbak."

"Jadi menurut kamu saya kayak anak kecil."

Rasya sontak meringis. "Aduh ... salah lagi aja gue ngomong?" Bibirnya mengerucut lucu. "Udahlah, jangan bahas itu lagi, gue takut abis ini lo noyor kepala gue karena terlalu banyak bicara."

Mungkin aku lebih memilih untuk menutup bibirnya yang sejak tadi tidak berhenti berceloteh.

"Mending gue pesenin es krim aja ya, biar kita bisa cepet-cepet cabut. Lo mau rasa apa, Mbak?"

"Yang jadi favorit di sini apa?"

"Es krim caramel, lo mau coba?"

Aku mengangguk setuju. "Boleh."

"Oke ...," balasnya seraya mengakat kedua ibu jari ke arahku. "Lo tunggu sini ya, Mbak. Kalo ada yang godain lo, panggil nama gue tiga kali, nanti gue bakalan dateng secepat mungkin buat lo."

APPEALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang