SEPARUH_ JIWA
#Se_Ji
#PROLOG"Berangkat sendiri saja dulu," terdengar suara wanita dari dalam rumah. Dia yang saat itu masih duduk di kelas tiga sekolah dasar diam tak bergeming dan tetap berdiri di tepi pagar.
"Sudah berangkat duluan mungkin," kata wanita paruh baya yang keluar dari rumah. Eyang Putri atau Uti biasa dia memanggil wanita itu berjalan mendekatinya.
"Tidak mungkin Uti, dia nggak akan ninggalin aku," suara anak-anaknya menyanggah perkataan Eyang Putri.
Bibir Eyang Putri berdecak, beliau menggeleng-gelengkan kepala. "Sampai kapan kamu seperti ini. Kalau tak dijemputnya kamu tak akan berangkat sekolah," gumam Eyang Putri.
Dia mengerucutkan bibir mendengar perkataan Eyang Putri lalu menggantungkan badan bongsornya di pagar dan mengayunkan tubuhnya sehingga menimbulkan suara deritan yang berisik. Sedikit pun tidak timbul rasa kekhawatiran di dalam dirinya bila pagar besi itu bisa patah akibat dari perbuatannya.
"Kring... kring... kring...!!!"
Bunyi dering sepeda dari kejauhan menghentikan gerakannya. Berlari dengan cepat ke teras rumah mengambil tas dan buru-buru memasang sepatu. "Uti, aku berangkat," teriaknya dari dalam rumah. Tanpa menunggu ada jawaban dia berlari ke pintu gerbang.
"Maaf Kakak telat. Tadi Kakak mengantar sarapan ayah dulu ke ladang!" terdengar suara dari gerbang pagar seruan dari seorang anak perempuan tanggung yang mulai mendekati remaja. Anak perempuan tanggung yang satu tahun belakangan ini rutin menjemputnya setiap pagi.
"Tidak apa-apa Kak, kita juga belum terlambat,"jawabnya. Dia meletakkan tas di dalam keranjang yang terletak di depan stang sepeda lalu tergesa duduk di bangku belakang.
"Ayo Kak, nanti kita telat," ajaknya bergegas, anak perempuan tanggung itu menganggukan kepala.
"Berangkat dulu, Uti," pamit anak perempuan tanggung itu ramah kepada Eyang Putri sambil kakinya mulai menggerakkan pedal sepeda.
"Hati-hati di jalan ya," kata Eyang Putri melepaskan dan memperhatikan hingga sepeda yang mereka naiki hilang di tikungan jalan.
"Sesudah ujian akhir nanti Kakak berangkat," kata anak perempuan tanggung itu sembari mengayuh sepeda menembus pagi di antara keramaian penduduk desa dan anak-anak sekolah yang juga menggunakan sepeda.
"Berangkat kemana, kak?" tanyanya. Dia memegang erat bagian belakang baju anak perempuan tanggung itu.
"Sekolah di pulau seberang, tadi malam ayah bilang sama Kakak," jelas anak perempuan tanggung itu.
Dia mengernyitkan hidung, berpikir dengan otak kecilnya," trus kalau Kakak pergi, aku bagaimana?" tanyanya bernada sedih.
"Berangkat sekolah sendirilah, kamu kan sudah besar. Sebentar lagi naik kelas empat kan?" jawab anak perempuan tanggung itu spontan.
Bibirnya bergerak-gerak tak jelas, ungkapan ketidaksukaannya dengan jawaban anak perempuan tanggung itu. "Nggak ada kakak, nggak seru. Aku nggak punya teman," dia membantah jawaban anak perempuan tanggung itu.
Anak perempuan tanggung itu diam sesaat, "Teman sekelas kamu yang dekat rumah cukup banyak. Ada Dedi, Adam, Irfan, Fathan, Idham dan yang lainnya." anak perempuan tanggung itu menjelaskan.
Dia mendengus, tanpa diberitahukan dia sudah tahu tentang nama-nama yang disebut anak perempuan tanggung itu, bukan itu jawaban yang dibutuhkannya. "Huh... aku tak suka mereka. Mereka jahat!" seru dia kesal.
Dia mendengar napas yang dihela, hal yang dilakukan anak perempuan tanggung itu apabila kata-katanya terdengar sulit dan membuat anak perempuan tanggung itu berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Jiwa
RomanceDua anak manusia mempunyai trauma akan pernikahan, tetapi karena suatu keadaan bersatu dalam ikatan suci itu. Bagaimana mereka menjalani kehidupan pernikahan mereka.