"Terima kasih Mbak Mitha, besok-besok kalau butuh balon lagi, Mbak Mitha bisa hubungi Mamang kapan saja," kata Mang Udin takzim saat menerima uang pemberian dari Mitha. Hari ini lelaki yang sehari-hari pekerjaannya menjual berbagai mainan anak secara keliling diminta Mitha untuk mengantar balon terbang ke taman kanak-kanak tempat Mitha bekerja.
Mitha tersenyum mendengar penuturan Mang Udin, lelaki separuh baya teman mendiang ayahnya yang dikenalnya sedari kecil. "Jangan kuatir Mang Udin. Tidak berapa lama nanti ada anak yang berulang tahun. Saya akan menghubungi Mamang untuk menyediakan balon dan atribut lain untuk kebutuhan acara," ujar Mitha. Mereka mengobrol beberapa saat membahas kabar antar keluarga lalu tidak lama kemudian Mang Udin meminta izin untuk pergi.
Setelah melepaskan kepergian Mang Udin, Mitha berniat kembali ke kantor kepala sekolah menyelesaikan perkerjaan yang tertunda. Namun, dia mengurungkan niat saat kilasan matanya menangkap seseorang berjalan mendekati. Mitha mengamati dengan seksama sosok itu. Pria muda yang dari segi usia mungkin sekitar akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan. Penampilannya santai dengan rambut ikal sebatas bahu yang dibiarkan tergerai. Sebuah kamera tergantung dilehernya.
Kening Mitha berkerut tipis saat pandangannya beralih ke sepatu yang dipakai, celana jeans dan mantel yang menutupi baju di badan pemuda itu. Menunjukkan kualitas barang yang tidak dijual di toko-toko di desanya, bahkan Mitha bisa menebak semua yang melekat di tubuh itu dibeli di gerai-gerai tertentu. Sepertinya laki-laki ini bukan berasal dari kampung sini dan dari stylenya dia bisa meraba di bagian strata mana kehidupannya.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?" Mitha menyapa ramah. "Mohon maaf, Anda wali murid dari siapa?" Mitha menambahkan.
Pria itu tidak segera menjawab justru menatap Mitha dengan lekat membuat hati Mitha perlahan terasa kesal karena cara anak muda itu memandang dianggapnya tidak sopan. Senyuman tidak pernah lepas dari bibirnya seolah-olah hidupnya berlalu tanpa beban. Sejenak tatapan mereka bersirobok. Perasaan heran meliputi diri Mitha, mengapa dia menangkap sinar kerinduan di sorot mata itu?
"Apa kabar, Kak Mitha?" terdengar suara bass pria itu menyebut namanya.
Mitha tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dari mana lelaki itu tahu namanya. Dia memperhatikan pemuda itu dengan detail sembari berusaha mengingat di jalan hidup mana mereka pernah bertemu.
"Siapa Anda?" tanya Mitha tetap berusaha menjaga kesopanan, kebingungan masih melanda dirinya.
Lelaki itu tertawa kecil, memamerkan giginya yang tersusun rapi. Sebuah gingsul terselip di sana menambah tampannya rupa. Pemuda itu berjalan semakin mendekatinya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku mantelnya.
"Kak Mitha pernah berjanji dua hal kepadaku, yang pertama sudah ditepati walau telah lama berlalu," kata lelaki itu. Senyum tipis tak lepas dari bibirnya. "Sedangkan yang kedua, sepertinya Kak Mitha melupakannya,"
Mitha tidak mengerti apa maksud perkataan pemuda itu, dia menatap dengan pandangan mata bertambah bingung.
"Kakak berjanji tak akan melupakanku, tetapi mengapa sekarang Kak Mitha tidak ingat sama aku," ujar pemuda itu lirih sembari mengakat kelingking jari kanannya mengarahkan kepada Mitha dan tatapan matanya tak lepas dari wajah Mitha.
Lama Mitha berpikir dan perlahan semua seperti de javu, dia seakan tetarik ke masa itu. Bayangan seorang anak kecil yang sedang menatapnya dengan penuh harap sembari mengagungkan jari kelingking yang teracung lalu beralih ke wajahnya. Namun kini semua terbalik, dia sekarang yang berada di posisi itu sekarang. Berulang kali pandangannya berpindah dari tangan dan muka pemuda itu. Sosok seorang anak lelaki bongsor dan memiliki gestur tubuh tidak mempunyai rasa takut, samar-samar berkelebat.
Alis mata Mitha terangkat tak percaya, jauh sekali perbedaan mereka sekarang.
"Eri...," Mitha berkata perlahan khawatir tebakannya meleset.
Senyum di bibir pemuda itu terkembang lebar dan sebersit bias tampak dimatanya.
"Iya, Kak Mitha, ini aku," lirih lelaki itu menegaskan.
~ AnieJamsLoveStory~
Eri tidak bisa mengungkapkan bagaimana rasa haru yang meliputi dirinya saat Mitha berhasil mengingatnya. Kekhawatiran sempat menguasainya bila Mitha tidak bisa mengenalnya. Lamanya waktu yang telah berlalu wajar sebenarnya jika Mitha lupa akan dirinya. Banyak hal yang telah ditemui dan banyak orang dihadapi semua datang silih berganti, ada yang membekas di hati bahkan ada yang mudah untuk terlupakan. Eri menyadari di antara mereka mempunyai jalan dan cerita hidup masing-masing. Namun, tidak untuk seorang Mitha Allisya. Eri meletakan wanita itu di sudut hati yang tidak tersentuh siapapun. Dia sendiri yang tahu dan menjaga seluruh kisah mereka sehingga mengenali Mitha hanya butuh dalam beberapa detik saja.
"Kamu banyak berubah, Eri," Mitha berkata membuyarkan lamunannya. Wanita matang itu sedang memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Aku tak menyangka kamu bisa menjadi segagah ini?"
Eri tidak bisa menyembunyikan senyumannya, entah kenapa untuk pertama kali dia ingin tertawa mendengar kata pujian seperti ini. Datarnya cara Mitha berkata membuat dia geli.
"Semua orang berubah, Kak Mitha," kata Eri tersenyum usil. "Termasuk Kak Mitha juga. Kakak juga cantik dan mempesona,"
Biasanya para wanita akan merona bila dia membalas pujian mereka dan sebuah senyuman yang penuh rekah akan dia dapatkan. Untuk kali ini sepertinya tidak, dia belum beruntung. Sebuah lengosan menyambut perkataannya.
"Apa yang bisa aku bantu, Eri. Apakah Lembaga Pendidikan Usia Dini ini berhubungan dengan pekerjaanmu?" tanya Mitha beberapa saat kemudian.
Eri menatap Mitha sambil mengerutkan dahi, sikap dingin Mitha membuatnya tidak mengerti. Nada bicara Mitha jauh dari yang diharapkannya. Eri mengakat bahu mencoba berpikir positif.
"Aku sedang berlibur, Kak Mitha. Sudah lama desa ini tidak aku kunjungi. Sejak Uti ikut Bude, aku tak pernah ke sini lagi. Kak Mitha sendiri, apa kabar?" ujar Eri basa-basi.
Sebuah dengkusan terdengar, membuat Eri semakin heran. "Aku baik, kamu lihat sendiri, kan." Mitha menjawab pendek.
Eri tidak mengharapkan sebuah penyambutan yang hangat dari Mitha. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan oleh wanita sebaya Mitha. Selain itu mereka berada di lingkungan desa, dimana bila ada sesuatu yang salah akan mudah menjadi masalah. Eri juga memahami usia Mitha bukanlah usia seorang yang masih sendiri karena itu Mitha harus pandai menjaga sikap dan diri. Tetapi, hal itu tidak harus membuatnya bersikap seketus itu.
"Apakah Kak Mitha baik-baik saja?" Spontan Eri mengulangi pertanyaannya melihat perlakuan Mitha.
Hembusan napas panjang menjawab pertanyaannya dan bunyi hentakan kaki menyusul kemudian, "Pekerjaanku sedang banyak, Eri. Jadi, maaf aku tak bisa berlama-lama di sini!" ujar Mitha lalu berlalu pergi dari hadapannya.
Eri terpana, menatap kepergian Mitha. Dia terpaku bukan karena untuk pertama kalinya dia diperlakukan wanita seperti ini atau juga memikirkan apa ada kesalahan yang telah dibuat. Tidak, bukan itu masalahnya.
Hatinya diliputi hanya satu pertanyaan, hei ... apakah seperti ini menyambut teman lama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Jiwa
RomanceDua anak manusia mempunyai trauma akan pernikahan, tetapi karena suatu keadaan bersatu dalam ikatan suci itu. Bagaimana mereka menjalani kehidupan pernikahan mereka.