"Dia tampan juga, kak Mitha." Nada yang berada di ruang kerjanya menghampiri.
"Siapa?" Tanpa menoleh Mitha menjawab. Dia sedang menyelesaikan laporan akhir bulan.
Hembusan napas berat terdengar, Mitha mengalihkan pandangan ke arah Nada, "Lelaki yang dua hari lalu singgah di sekolah kita dan berbicara dengan kak Mitha," jawab Nada.
Alis Mitha bertaut, dia tidak mengerti arah perkataan Nada. Otaknya mengingat-ngingat orang yang di maksud, "Mang Udin?"
Nada memutar bola matanya mendengar tanggapan Mitha, "Jangan kura-kura dalam perahulah, kak Mitha. Pura-pura tak tahu," sambut Nada dengan muka berlipat. "Nggak mungkinlah,"
Mitha berpikir kembali. Ingatannya melayang akan pertemuan pertamanya dengan Eri yang telah lama tidak bertemu. Wajahnya berubah mengingat semua itu. Dia memalingkan muka, meneruskan kembali pekerjaannya yang terhenti.
"Tampan wajah tidak menjamin tampan hati, Nada." Mitha berkata datar.
"Kita tidak boleh langsung memvonis, kak Mitha. Jangan menilai orang sebelum mengenalnya. Ayah Kak Mitha pernah berkata. Bukankah kita harus melakukan perjalanan atau bekerja sama dulu baru bisa menilai baik atau tidaknya seseorang." Nada mengingatkan. Dia memahami kondisi Mitha yang banyak menarik diri dari pergaulan apalagi dengan lawan jenis. "Tidak semua laki-laki sama, Kak Mitha," lanjut Nada hati-hati.
Mitha mendesah dan mengusap kening dengan lelah. Ah, mengapa hari ini sepertinya semua orang kompak membahas hal yang dihindarinya. Pagi tadi ibunya sekarang Nada, sepupu sekaligus rekan kerjanya.
"Orang yang telah kita kenal belum tentu baik, Nada," sanggah Mitha getir. "Kak Mitha yakin kamu nggak perlu penjelasan kan."
Helaan napas panjang terdengar oleh Mitha. Nada sudah cukup besar saat luka tertoreh di hatinya. Bahkan Nada juga orang yang menemaninya bangkit dari keterpurukan.
"Waktu sudah lama berlalu, kak Mitha. Sudah saatnya kakak membuka diri, sampai kapan kak Mitha seperti ini," ujar Nada. Kekhawatiran terselip di suaranya.
Mitha menoleh menatap Nada. Dia memahami kekhawatiran Nada. Gonjang-ganjing tentang dirinya di lingkungan desa mereka yang kecil cukup meresahkan, di tambah Nada yang juga sudah memasuki usia pernikahan.
"Kak Mitha sudah sering berkata, jangan menunggu kakak. Jika kamu sudah mantap duluan saja, tidak akan jadi masalah, Nada." Mitha menegaskan. Teringat silaturahmi dari keluarga seorang laki-laki muda yang berniat melamar Nada beberapa hari kemarin.
Nada mendengkus, menatap Mitha kesal, "Aku sedang tidak membahas masalah lamaran yang datang kepadaku, kak Mitha." Nada bersungut-sungut. "Apa kak Mitha tidak tertarik dengan lelaki yang aku ceritakan tadi?"
Mitha terdiam sejenak, berpikir, tak menyangka Nada masih memikirkan Eri dan mempermasalahkan kehadiran lelaki itu. Mitha menarik napas panjang, berkata lirih, "Dia tidak berbeda dengan yang lainnya, Nada. Orang kaya yang akan memandang rendah orang miskin," kata Mitha dengan nada melamun. "Sudah cukup, aku tak ingin berurusan lagi dengan orang-orang seperti itu."
"Tidak semua orang berada bersikap begitu, kak Mitha. Sebagian dari mereka mempunyai hati. Mereka yang mempunyai hubungan kerja dengan keluarga kita salah satu contohnya." Nada menyanggah, berusaha mengingatkan Mitha akan orang-orang yang mempunyai peranan penting dalam perkebunan milik keluarga besar mereka.
Mitha mendesah melonggarkan dada yang terasa sesak, "Kamu mengenal baru sebagian, Nada. Belum sampai setengah dari mereka. Kak Mitha sudah banyak bertemu dan mengenal orang-orang seperti mereka. Mempunyai harta yang banyak sehingga melakukan semua cara, punya orang di anggap hak. Keluarga dilupakan kemudian kawan jadi lawan," jelas Mitha panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Jiwa
RomanceDua anak manusia mempunyai trauma akan pernikahan, tetapi karena suatu keadaan bersatu dalam ikatan suci itu. Bagaimana mereka menjalani kehidupan pernikahan mereka.