Bab 3

40 7 2
                                    

Mitha memandang dirinya di depan cermin sesaat sebelum berangkat kerja. Mematut dan memeriksa penampilan, merapikan jilbab coklat polos yang menutupi kepalanya.

"Jangan berlama-lama berdiri di situ, nanti pecah cerminnya."

Suara dari pintu kamarnya mengalihkan Mitha dari kegiatannya. Dia menoleh ke belakang, tersenyum kepada pemilik suara yang sedang duduk di atas kursi roda. Seorang wanita berwajah sahaja di usia yang lebih dari separuh baya.

"Ibu terlihat segar pagi ini, sepertinya  tidur Ibu nyenyak semalam?" sapa Mitha saat telah berada di dekat ibunya. Dia mensejajarkan diri dengan posisi ibunya.

"Tidur ibu baik-baik saja, Mitha," sahut ibu Mitha. Dia mengusap kepala anaknya, "Kau terlihat cantik hari ini."

Senyum manja terkulum di bibir Mitha, sedari kecil dia terbiasa dengan pujian dari wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya ini. Baik mengenai hal-hal kecil maupun urusan yang besar.

"Kalau anaknya cantik tentu ibunya lebih cantik," timpal Mitha membalas.

Ibu Mitha tertawa kecil mendengar perkataan anaknya. Dia menatap Mitha lama dan penuh arti. Anak semata wayang permata hidupnya.

"Menikahlah, kau berhak bahagia," kata Ibunya beberapa saat kemudian.

Mitha mendesah, entah mengapa belakangan ini ibunya sering membahas masalah yang selalu dihindarinya. Sering dia menahan diri agar tidak tersulut emosi.

"Mitha tidak akan menolak jika ada yang datang, Ibu." Mitha menjawab hati-hati, menjaga nada suaranya agar ibunya tidak tersinggung. Dia menunduk, diam sesaat,  "mengapa akhir-akhir ini Ibu selalu membicarakan masalah ini?" Akhirnya Mitha meluapkan kegelisahannya.

Ibunya tahu Mitha tidak suka membicarakan pernikahan. Wanita itu tak melupakan kejadian tiga tahun yang lalu. Kejadian yang membuat nyawa suaminya terengut dan beberapa bulan kemudian dia menjadi lemah lalu duduk di kursi roda ini.

Perempuan yang rambutnya telah memutih itu menarik napas panjang, matanya menatap jauh menerawang, "Ibu sudah tua, Mitha. Sakit ibu sudah bertambah parah. Jika kau sudah menikah Ibu bisa pergi dengan tenang,"

Mitha mengakat wajah menatap sedih Ibunya, "Kalau begitu aku tak usah menikah, agar ibu tidak pergi kemana-mana," jawab Mitha spontan.

Ibunya mengelus pipi Mitha dengan lembut, "Apa yang akan Ibu katakan kepada ayahmu jika ibu menyusulnya bila kamu belum menikah, Mitha?"

Mitha merengut, selain masalah pernikahan. Ibunya acap kali berkata akan meninggalkannya. Apakah itu peringatan ataukah ancaman agar dia bersegera, Mitha tidak tahu.

"Ibu sering berkata jodoh, rezeki, maut bukan di tangan kita," jawab Mitha tanpa bermaksud menggurui. "Mengapa pagi ini kita harus membahas sesuatu yang bukan urusan kita, Ibu?"

Terenyuh mendengar perkataan Mitha, Ibunya mendesah. Wanita yang wajahnya diwa menyadari Mitha bukanlah anak kecil lagi yang terkadang akan berbalik mengingatkan bila dia lupa. Dia meraih tangan Mitha dan menepuk-nepuk dengan sayang.

"Maafkan ibu, Mitha. Ibu hanya ingin melihatmu layaknya seperti wanita lain. Menikah dan bahagia membina rumah tangga. Ibu selalu mendoakan agar suatu saat nanti kau akan menemukan suami yang penuh kasih dan bisa menjaga dirimu sepanjang hidupmu."

Mata Mitha berembun, mengaminkan doa ibunya di dalam hati.

Ibu, andai semua kehendak ada di tanganku. Akan kukabulkan semua keinginanmu, apapun akan kulakukan Ibu agar engkau bahagia selalu.
*****

"Sakit?" tanya Mitha. Tangannya mengusap pelan goresan luka di lutut Eri. Eri meringis menahan perih.

"Hebat ya, baru sebulan di sini kamu sudah jadi preman!" kata Mitha sambil mengoleskan antiseptic yang selalu tersedia di tasnya.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang