Kita jadi punya pengalaman liat mayat

1K 65 105
                                    

Mingi ingin pulang. Entah sudah terhitung berapa puluh menit sejak dirinya terpaksa duduk sopan di atas salah satu kursi beralas bantal empuk nan mewah, menempatkan diri di antara dua orang yang sama sekali tak menjadi bagian besar dalam hidupnya. Bahkan, Mingi ragu jika ia mengenal dengan baik mereka. Ayahnya, entah dari mana ide ini muncul, menyuruh Mingi ikut makan malam dengan para koleganya, menghabiskan waktu dengan menghadapi berbagai hidangan mewah sembari membicarakan hal-hal berat, urusan orang tua. Mingi jauh lebih suka memasak mi instan di rumah, makan di kamarnya sembari menonton film atau membaca-baca buku. Ini seharusnya tak perlu dibebankan pada seorang remaja berumur enam belas tahun, yang memang tak memiliki ketertarikan dalam hal bisnis sedikitpun.

"Mingi, aku suapi, ya."

Jika ada hal terakhir yang Mingi bisa lakukan dalam hidupnya, maka itu adalah melayani keinginan seorang wanita berpakaian minim di sampingnya ini. Bukannya Mingi merendahkan, tetapi memang nyatanya seperti itu. Wang Yiren mempunyai obsesi aneh yang Mingi sebut sebagai 'ciri dasar manusia tak beradab'. Perempuan itu memiliki kebiasaan menyebalkan, mendekati tiap orang yang ia pikir memiliki kekayaan lebih dari orang lain.

Inginnya Mingi berteriak, memaki Yiren saat itu pula, sebelum sadar di mana tempatnya berpijak saat ini. Dengan kumpulan orang-orang berumur di sekelilingnya, ia hampir tak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan seberapa tak nyaman dirinya saat ini. Atau dalam kesimpulan yang mudah, seluruh orang akan mengecapnya sebagai remaja tak sopan—walau benar begitu adanya.

"Ayah, Mingi pulang lebih awal, ya."

"Eh, kenapa?"

"Perut Mingi sakit. Mingi makan di rumah aja, minta Bibi Kim."

"Mingi, aku antar, ya."

Sekali lagi, Mingi memilih mengabaikan keinginan perempuan di sampingnya tersebut. Jujur saja, terkadang ia penasaran di mana letak urat malu Yiren. Bisa-bisanya menggoda seseorang di depan banyak orang tua seperti ini. Mingi sendiri, meski ia akui dirinya terkadang berlaku semena-mena di depan ayahnya, hal sama berlaku sebaliknya jika di depan orang-orang penting seperti kolega ayahnya ini. Tentu ia akan menjaga sikapnya, tak ingin namanya menjadi buah bibir di sisa waktu makan malam, juga untuk beberapa hari ke depan.

Rasanya lega, ringan juga bahagia kala Mingi mulai berjalan meninggalkan mansion kolega ayahnya tadi. Sebetulnya jarak dari mansion ini ke rumahnya cukup jauh, tetapi karena dirinya sedang butuh banyak udara segar guna mendetoksifikasi segala jenis kotoran yang tertinggal dalam hati juga kepalanya gara-gara perempuan penuh paham hedonisme tadi, Mingi memilih berjalan kaki.

"Mingi, aku sudah mencintaimu sejak pandangan pertama. Saat aku melihatmu, aku merasa seperti di Surga."

Mingi bergidik ngeri membayangkan kalimat yang jelas tanpa ketulusan hati beberapa waktu lalu. Ia mungkin tak mampu menebak isi hati seseorang, tetapi mengetahui betapa busuknya hati Yiren, itu cerita lain. Mingi sudah terlalu paham akan bagaimana besarnya obsesi Yiren pada kekayaan. Tak heran jika dirinya dilingkup banyak kepuasan duniawi saat ini.

Andai saja memukul seorang wanita tak akan membuat Mingi dicap sebagai laki-laki tak berhati, sudah Mingi lakukan sejak pertama kali ia melihat Yiren. Keinginan tersebut wajar bukan, untuk ukuran seorang perempuan yang dapat dengan mudahnya menggoda seseorang, meminta sebagian besar kekayaannya, kemudian pergi untuk mendapat seseorang yang ia rasa memiliki harta lebih banyak dari orang sebelumnya?

"Eh, Nak? Udah pulang?" tanya Bibi Kim, salah satu pelayan di rumah Mingi yang sudah lama menempati posisi seorang ibu dalam hati pemuda bermarga Song tersebut.

"Iya, Bi. Mingi gak betah," jawab Mingi sembari memberikan jasnya pada Bibi Kim. "Bi, tolong buatin mi instan, ya. Atau apa aja, Mingi lapar. Belum sempat makan tadi, bawa ke kamar, ya. Mingi naik dulu."

Goofy Goober 🍰 YunGi [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang