Mingi capek, Yunho apalagi

429 36 24
                                    

Duduk, melamun, berguling, kembali ke tempat semula. Mingi menghabiskan lebih dari tiga puluh menit waktu berharga malam Sabtunya hanya untuk melakukan hal tak berguna yang sama sekali tak meringankan beban pikirannya. Ia tengah bingung, lebih tepatnya, bimbang. Empat bulan berlalu, dirinya tak kunjung berdiri di posisi yang didambakannya. Sendirinya pula yang salah, terlalu mengulur waktu, tanpa tahu caranya pergi ke tingkatan berikutnya.

Mingi tengah memikirkan Yunho. Lagipula, sejak beberapa bulan lalu, nama pemuda itu kian menjadi bagian besar dalam kepalanya. Mungkin, hampir melebihi beban pikiran akan dirinya sendiri. Mingi tahu, seharusnya ia melakukan ini sejak dulu, atau beginilah jadinya.

"Ya Tuhan, sahabat gua kerasukan apa tiba-tiba kasih traktiran? Biasanya juga malak."

Yunho sudah terlampau nyaman dengan sebutan 'sahabat' terhadap Mingi. Sementara, Mingi ingin hal yang lebih dari sekadar ini. Bukannya tak bersyukur atau bahkan tak menghargai Yunho. Hanya saja, kini Mingi mulai menyalahkan dirinya sendiri yang menjalin hubungan akrab dengan Yunho terlalu lama, berharap bahwa Yunho akan ikut merasakan desir emosi lain yang sama kala keduanya melempar pandang. Nyatanya, tidak. Yunho tetap Yunho, seorang yang menganggapnya sebagai sahabat.

"San."

"Kak Mingi ganggu, ish! Apa? Cepetan ngomongnya, San mau belajar dulu."

Lelah melamun sendiri, Mingi berlari ke kamar San, bermaksud mengeluarkan keluh kesahnya. Ia harap, setidaknya ada saran atau bahkan sederet solusi juga pilihan-pilihan akan apa yang hendak ditanyakannya.

Mingi merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur San, tak mengindahkan teriakan sepupunya tersebut, meratapi kasur yang sudah capek-capek ia bereskan kini terbebani tubuh tinggi sepupunya. Lagipula, ini di rumahnya. San hanya tinggal sementara di sini karena ayahnya sedang dinas ke luar negeri. Katanya, dua hari pulang. Sebetulnya bisa saja San tinggal di rumahnya. Toh, ia juga punya banyak pelayan dan penjaga di rumahnya. Sudah pasti aman. Namun, katanya malas kalau tak ada orang untuk diajak mengobrol. Kalau di sini enak, masih bisa mengobrol dengan Mingi, meski kadang ujungnya debat tak berguna.

"San, dulu Wooyoung nembak lu gimana?"

San mengernyit, mendapati pertanyaan tak wajar yang keluar dari balik bibir sepupunya. Biasanya juga, jika Mingi tiba-tiba mendatanginya hanya ingin bertanya pasal dinosaurus, atau paling tidak, tentang manusia purba. Tiba-tiba saja topik lain kini dilontarkannya. Bukannya tak boleh, hanya saja, San bingung.

"Kak Mingi ini lagi demam apa gimana? Aneh banget nanya gituan."

"Jawab aja napa, San? Lagi bingung gua!"

San apalagi. Ia bisa-bisa saja membantu Mingi jika sepupunya tersebut bertanya soal sejarah peradaban manusia, perang dunia pertama, atau peradaban Yunani kuno. Namun, pasal ini, tak ada dalam perpustakaan sejarah dalam kepalanya. Ia tak bisa membantunya.

"Gak tau, gak inget. Tanya Wooyoung aja. Udah ah, Kak Mingi ganggu. Sana!"

"Ck, dasar penggila kera," cibir Mingi saat melihat berbagai jenis visualisasi manusia zaman prasejarah di atas layar laptop milik San.

"Udah ganggu, ngejek lagi! Dah ah, sana!"

Setidaknya Mingi tahu bahwa meminta bantuan dari San ternyata bukan pilihan yang bagus. Kembali, Mingi merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, memandangi langit-langit sambil membayangkan bagaimana cara terbaik baginya untuk menyatakan perasaan terhadap Yunho. Ia tak ingin terus-terusan terjebak dalam hubungan berembel-embel 'sahabat' yang entah sampai kapan berlangsungnya.

"Ish, pusing!"

Mingi menarik bantal di belakangnya, menggigitnya kuat, mengeluarkan kegeramannya. Memikirkan duet maut trigonometri dengan aljabar saja tak pernah membuatnya sepusing ini. Kenapa kali ini berbeda? Ia hanya memikirkan satu kalimat yang sekiranya sesuai untuk dikemukakan pada Yunho nanti—dengan Mingi yang masih belum tahu kapan waktu pastinya hal tersebut terjadi.

Goofy Goober 🍰 YunGi [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang