Aku pulang

8 0 0
                                    

Suaraku terdengar kencang, memecah ombak sebelum menghantam bebatuan. Tenggorokan mengering, tak peduli jika yang diteguknya air asin. Aku menemukannya. Kulari hingga paru-paru terasa meledak, pasokan oksigen drastis menurun, dan kaki lemas diseret. Aku enggan peduli, sama sekali tak mau peduli.

Dia sudah berdiri di pesisir dengan kedua tangan terbuka lebar, menungguku. Walau helaian rambutnya membingkai wajah acak-acakan, aku tahu kedua mata cokelat itu tersenyum hangat layaknya dekapan sore yang menungguku pulang dalam keadaan lelah.

Langkah kaki yang terbenam pasir tidak sanggup menahanku. Aku terlalu merindukannya, melompat dalam dekapannya dan menghirup dalam-dalam aroma yang kurindukan. Rasanya seperti rumah. Bagai rumah dengan kayu lapuk namun memutuskan tetap berdiri dengan sisa usahanya, menungguku setelah sekian lama hanya untuk mengucapkan aku pulang.

"Kau sudah pulang," ucapnya, membenam wajah dengan kedua tangan mencengkeram bajuku yang sudah basah karena hujan. Kudekap dirinya lebih erat, enggan memberikan semesta celah untuk menyeretnya menjauh dariku.

"Aku yang harusnya mengatakan lebih dulu."

Dia mengangkat kepalanya, betapa kurindukan ekspresi yang diperlihatkan wajahnya. "Maka katakanlah."

"Aku pulang, kasihku. Aku pulang."

RumahWhere stories live. Discover now