Diantara suara deburan ombak yang menghantam bibir pantai dan angin yang bertiup kencang, dia duduk diatas bebatuan. Hanya menatap ombak yang berubah menjadi buih ketika menyentuh pasir basah. Sinar matahari yang menyengat bahkan tidak membuatnya bergeming. Sejak tadi dia hanya menatap kosong kearah laut, entah apa yang dipikirkannya. Tidak ada yang tahu.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya seseorang yang ikut serta duduk disampingnya.
"Aku hanya menatap ombak yang menghantam bibir pantai dan mendengarkan suara angin yang mendominasi pendengaranku." Dia menjawab tanpa melihat lawan bicaranya. Perhatiannya sudah terkunci pada pemandangan dihadapannya.
"Apa ada sesuatu atau seseorang yang kau tunggu?" Tanya orang itu lagi padanya.
Dia menaikkan kedua bahu. "Kurasa, aku hanya menunggu saat dimana air laut bisa menyentuh pasir kering." Tangan mungilnya menunjuk pada pesisir dihadapannya.
"Hanya itu?"
Dia mengangguk. "Aku hanya menunggu saat itu. Saat dimana air laut bisa menggapai pasir kering didepannya. Dengan usahanya yang seperti ini, kurasa aku terpaksa menunggu lebih lama."
Ombak yang menghantam bibir pantai mulai mengecil, batas pasir basah yang disentuhnya pun kurang setengah. Hembusan angin mulai melambat, hanya terasa mengelus kulit yang sedari tadi terpapar sengatan sinar matahari.
"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Dia menunjuk kearah laut dengan jari telunjuknya sekali lagi. "Apa ada seseorang yang pernah mencoba untuk menyeburkan dirinya kedalam laut? Apakah orang yang ditinggalkan akan merasa sedih atas kepergiannya lebih dari 40 hari atau mereka akan mengadakan pesta besar-besaran? Apa ada seseorang yang masih menunggu kepulangannya walaupun tahu hal itu sudah mustahil?"
Hening. Suara deburan ombak kembali mendominasi. Keduanya terdiam. Tak seorang pun yang tahu bagaimana harus menjawab.
"Kau tahu, laut itu selalu berusaha untuk meraih pasir kering. Sama seperti manusia yang berusaha untuk menggapai orang yang tidak bisa dimilikinya. Untuk laut, pasir kering itu seperti mimpinya yang hanya sekedar impian tak tergapai. Kalau laut hanya berusaha sendiri, pasti susah bukan? Sama seperti manusia yang berusaha namun lupa takdir. Mereka lupa bahwa mungkin orang itu tidak harusnya memiliki peran penting dalam hidupnya."
"Apakah kau juga menunggu seseorang seperti laut yang berusaha menggapai pasir kering?"
"Aku menunggu sesuatu yang bisa kusebut rumah. Untukku, mendengar suara ombak dan tiupan angin sudah cukup untuk disebut rumah. Sunyi namun tidak membuatku merasa kesepian. Ini sudah cukup. Aku tidak mengharapkan sesuatu yang lebih dari ini. " Dia menoleh, menatap lawan bicaranya yang menatap laut. "Untukku, ini sudah cukup."
YOU ARE READING
Rumah
RandomSemua orang punya rumah, namun hanya sedikit yang memiliki tempat untuk pulang. Buku ini hanya mengisahkan kisah pendek dua insan yang mungkin berbeda dunia, takdir, dan keputusan. Tidak lebih, tidak pula kurang.