Satu

2K 56 2
                                    


“Ega, ini apaan? Dadar Zimbabwe?!” Mas Sean berteriak. Aku yang masih berkutat di meja dapur, langsung buru-buru balik badan dan lari ke arahnya. Kulihat, cowok itu mukanya udah syok berat.

“Eh, maksudnya?” tanyaku heran. Zimbabwe? Perasaan itu telurnya kubeli di warung, bukan di Zimbabwe.

“Ini! Telor gosong begini kamu kasih ke aku? Seriusan?!” Mas Sean menunjuk ke arah piring di depannya. Aku hanya bisa melongo. Gosong? Itu cuma golden brown, kok. Sumpah.

“Mas, itu cuma agak cokelat gitu. Nggak gosong, kok,” kilahku sambil menggaruk kepala.

“Terus, ini mie kamu kasih apaan? Ngembang kaya ibu-ibu beranak dua! Ngerebus pakai minyak tanah?”

Aku makin bingung lagi. Minyak tanah? Apaan, tuh? 

“Minyak tanah apaan sih, Mas?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya.

Suami yang baru menikahiku tiga hari dan ini adalah hari pertama kami pindah ke rumah pribadi miliknya itu tepuk jidat. Mukanya hopeless.

“Ya Allah, Ga, pusing aku!”

“Sama, Mas,” kataku sambil menatapnya bingung.

Cowok yang memakai kaus oblong putih dan celana pendek hitam itu kelihatan frustrasi. Emangnya aku ngapain, sih, sampai dia tertekan begitu?

“Ega salah apa, Mas?”

“Nah, ini bau apa lagi? Bau gosong apaan?!” Mas Sean berseru. Dia buru-buru bangkit dan menoleh ke belakang.

“Eh, iya! Aku goreng tahu, Mas!” Aku menepuk jidat. Buru-buru berlari dan ternganga saat melihat empat tahu ukuran besar sudah menghitam di dalam wajan.

“Ega! Itu apinya segede kebakaran di Pertamina! Gimana nggak gosong!” Suamiku berteriak histeris. Tangannya cekatan mematikan kompor, sementara aku hanya bisa berdiri terpaku sambil takjub dengan hal bodoh yang terjadi barusan. Iya, ya. Apinya kebesaran. Pantas gosong.

“Mas, maaf. Aku kan, nggak pernah ke dapur selama ini,” kataku penuh penyesalan sambil memeluk erat pinggang Mas Sean yang beda usianya terpaut 13 tahun denganku. Suamiku ini adalah rekan bisnis Papa. Kami kenal sejak setahun Papa membuka cabang mie ayam rainbownya dan bekerja sama dengan pria 32 tahun yang berprofesi sebagai pengusaha tersebut.

“Iya, tapi seenggaknya kamu ngerti dong, kalau api yang kebesaran bakal bikin masakan gosong? Masa itu doang nggak tahu, sih?” Mas Sean kedengarannya marah. Aku malah sakit hati sendiri mendengarnya. Dia ngeremehin aku banget, ya?

“Ya, udah. Kalau gitu kamu masak aja sendiri!” kataku kesal sambil balik badan dan berniat untuk masuk kamar.

“Lho, dikasih tahu suami kok, malah ngambek!” Mas Sean menarik pelan tanganku. Akan tetapi, langsung kutepis kasar.

“Mas, aku bela-belain ke pasar pagi-pagi! Masak yang enak buat kamu. Hargain, kek!” semprotku jengkel. Mas Sean apa nggak mikir? Aku lho, harus sambil kuliah online, tapi juga kudu belajar hidup rumah tangga. Kenapa Mas Sean malah marahin aku? Kan, seenggaknya aku udah usaha.

“Aku ngasih tahu yang baik, Ega. Bukan nyalahin kamu,” kata Mas Sean dengan nada yang lebih lembut.

“Kalau emang nggak suka masakanku, ya, udah. Gojek kan masih ada di muka bumi ini!” bentakku sebal.

“Apa salah kalau suami minta dimasakin istri?” Mas Sean melepaskan genggaman tangannya. Nada bicaranya terdengar seperti orang yang merajuk.

“Salah. Banyak komentar, sih!” 

Mas Sean diam. Lelaki itu lalu tiba-tiba tersenyum kecut. Dia berjalan kembali ke meja makan dan duduk sambil menghadap makanannya.

“Udah, nggak usah dimakan kalau nggak enak!” kataku dengan nada tinggi kala melihat suamiku malah makan mie instan yang mungkin baginya overcook tersebut.

Mas Sean tidak hirau. Dia terus makan dan malah membuatku sakit hati sendiri. Kusambar mangkuk berisi mie panas tersebut dan membuangnya ke lantai.

Prang! Mangkuk beling itu terbelah jadi dua beserta isinya yang berceceran mengotori lantai. Aku kaget sendiri. Tak menyangka bahwa bakal hancur berantakan.

“Kaya gini ortumu ngajarin, Ga?” 

Deg! Aku langsung menyesal setengah mati. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang tak keru-keruan. 

“Kalau kamu nggak ridho sama perjodohan ini, seharusnya dari awal kamu bilang. Kenapa kamu  oke-oke aja, tapi malah akhirnya begini? Kamu nggak suka sama aku? Bilang harusnya, Ga!” Mas Sean marah besar. Mukanya sampai kemerahan. Cowok dengan tinggi 175 sentimeter dan punya bulu-bulu halus di pipinya tersebut bangkit dari kursi, lalu meninggalkanku sendiri di ruang makan yang menyatu dengan dapur.

Aku terduduk lemas di lantai. Nangis. Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku bingung harus berbuat apa.

“Aku salah, ya?” lirihku sambil menatap mie yang berserakan di lantai.

“Coba kalau aku nggak minta nikah gara-gara bosen di rumah aja. Coba kalau aku nggak secepat ini nikah!” 

Aku sesegukan. Berharap kalau Mas Sean datang, kemudian membujukku habis-habisan. Nyatanya, cowok dengan dada bidang dan rambut lurus berbelah tengah itu tak juga kunjung datang.

“Kamu harusnya peka, Mas!” sesalku dengan suara yang gemetar dan parau.

(Bersambung)

Malam Pertama dengan Om-om Pilihan PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang