Dua

1.6K 41 2
                                    

BAGIAN 2


Sambil nahan dongkol, aku yang nggak mungkin ngebiarin dapur rumah Mas Sean berantakan kaya kapal pecah, akhirnya mutusin buat bangkit. Ngapusin air mata di pipi, sambil misuh-misuh dalam hati. Awas ya, Om-om ngorokan! Abis ini aku bakalan lapor ke Papa kalau dia abis ngasarin aku. Lihat aja ntar!

Terpaksa banget rasanya pas harus ngebersihin semua pecahan beling dan mie instan yang udah dingin. Kalau dilihat-lihat, mie hasil karyaku itu emang wujudnya kaya cacing Alaska, sih. Kelewat montok dan semok. Huhft, jadi … wajar aja kali, ya, Mas Sean gondok? Tapi, kan … dia nggak harus marah-marah juga? Dasar aja dia yang tempramen!

“Auw!” Aku berteriak histeris pas pecahan mangkok nggak sengaja nusuk telunjuk kananku. 

“Yah, berdarah!” kataku kaget saat darah segar ‘ngocor’ di ujung jari.

Buru-buru aku mengisap telunjukku yang berdarah, berharap cairan merah itu langsung berhenti keluar. Aku nangis lagi. Seumur-umur, hidupku nggak pernah sengenes sekarang! Biar kata sejak SMP Mama meninggal dunia lalu digantikan oleh Bunda, ibu sambungku, aku nggak pernah dijadiin upik abu! Apalagi sampai berdarah-darah begini. Pas aku udah usaha maksimal, cowok yang katanya siap buat ngebimbing sampai surga itu malah nyiksa aku habis-habisan.

Aku makin mewek ketika Mas Sean nggak muncul-muncul juga. Padahal, di sini rasanya aku udah menderita abis. Dia ngapain coba? Bertelur di kamar? Sampai-sampai cuek banget begitu sama aku. Dia yang salah, dia yang ngambek. Lucu banget ternyata pernikahan? Nggak seindah yang kutonton di tv-tv!

“Kamu ngapain?” Suara cowok itu tiba-tiba terdengar di telinga. Aku yang lagi nangis sambil menunduk, sontak noleh dan angkat kepala. Huh, giliran udah terjadi korban luka-luka, dia baru datang!

“Nggak apa-apa!” bentakku sambil bangkit lagi. Kulihat tanganku yang tadinya kuisap dengan mulut. Darahnya masih keluar, dong!

“Kamu berdarah! Ya Allah, ini kenapa?!” Mas Sean panik. Cowok tinggi itu buru-buru megangin tanganku kencang. 

“Udah, nggak usah peduliin aku!” Aku marah. Menarik jariku darinya, tetapi pria itu malah memelukku erat.

“Ih, lepasin! Jangan sok romantis! Aku nggak butuh kamu!” elakku sambil ngedorong cowok itu supaya menjauh.

“Ayo, ikut ke kamar!” Mas Sean malah menyeretku dalam dekapannya. Memaksa buat masuk kamar yang ada di tengah rumah. Aku berontak. Masih nggak terima sama perbuatan-perbuatannya hari ini. 

Cowok ini nyebelin banget, sih? Apa dia dendam ke aku gara-gara itu? Jangan-jangan … dia …?

“Mas, kamu ngasarin aku karena aku belum mau tidur sama kamu? Gitu?!” Aku menyemprot Mas Sean lagi ketika kami sampai di kamar. Cowok berkulit sawo dengan dagu dan bibir berbelah itu entah mengapa tak menghiraukanku. Dia malah sibuk nutup dan ngunci pintu rapat-rapat. 

Kulihat ke arah jari telunjuk kananku. Pendarahannya udha mulai berkurang. Buru-buru kuisap lagi supaya darahnya berhenti total.

“Kamu itu terlalu berisik, Ga! Diem, makanya.” Mas Sean membelalak. Cowok itu meringsek maju dan membuatku kaget setengah mampus. Ini cowok mau ngapain?

“Ih, jangan mendekat!” kataku sembari berusaha mendorongnya menjauh. Namun, cowok ini kelewat kuat. Dia berhasil maju terus dan membikin aku jatuh ke kasur.

Malam Pertama dengan Om-om Pilihan PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang