Tiga

969 30 0
                                    

BAGIAN 3


Reaksiku terhadap perlakuan Mas Sean yang agak mencurigakan itu tentu aja bisa dibilang wajar. Marah iya, sakit hati iya, merasa nggak dihargain tentu aja. Saking kesalnya, kuputuskan buat nelepon Bunda, ibu sambungku yang pasti pagi-pagi Minggu begini tengah leyeh-leyeh di taman belakang rumah. Aku bakal nyaduin semua kelakuan Mas Sean dan kalau perlu hari ini juga aku pulang!

“Bun,” kataku sambil berderai air mata. Ponsel yang kini menempel di telinga jadi saksi betapa pilunya hati seorang cewek yang diperlakuin nggak adil sama suaminya sendiri.

“Halo, Sayang. Ega gimana kabarnya, Nak? Enak di rumah Sean?”

“Bunda! Aku mau pulang! Aku nggak betah! Suruh Papa jemput, Bun!” Aku berteriak. Menangis sambil meraung-raung. Merasa sesak di dada sampai-sampai buat narik napas aja sakit.

“Eh, kenapa? Ega kenapa, Sayang? Sean ngapain kamu?” Bunda udah kedengaran panik. Perempuan 34 tahun itu kaya kebakaran jenggot mendengar anak sulungnya nangis. Jelas dong, meskipun aku bukan anak kandung Bunda, tapi di rumah aku adalah kesayangan. Eza, adik sedarahku yang lahir dari rahim Bunda yang usianya baru lima tahun aja kalah pokoknya.

“Mas Sean jahat, Bun! Dia marah-marah gara-gara masakanku nggak enak. Jariku sampai luka gara-gara kena pecahan mangkok.”

“Apa?! Astaghfirullah, Sean kok, gitu? Kenapa sih, dia itu? Ya Allah, Bunda nggak nyangka dia begitu sama kamu. Iya, Sayang. Sabar, ya? Bunda ke sana. Nggak usah lapor ke Papa. Dia orangnya paling nggak enakan, apalagi kalau sama rekan bisnis yang udah kaya anaknya sendiri itu.”

Aku cukup puas mendengar kata-kata Bunda. Yes, akhirnya ada yang ngebelain aku. Awas kamu, Mas Sean! Kamu pikir, aku takut buat lapor ke orangtuaku? Nggak, dong!

“Ini dia lagi teleponan sama manager Rainbowku, Bun. Aku bingung, kami baru nikah tiga hari, tapi Mas Sean kok, udah gini.”

“Iya, Sayang. Sabar, ya? Bunda langsung ke sana jemput kamu. Kamu beres-beres. Bunda nggak terima kamu diginiin sama cowok!”

“Iya, Bun. Makasih, ya. Bentar, Ega beres-beres dulu.” Aku langsung mematikan telepon.

Setengah mati aku kaget saat melihat Mas Sean udah berdiri di ambang pintu. Mukanya jutek. Asli, galak banget. Siapa yang nggak deg-degan dipelototin begitu?

“Kamu kenapa, sih?” tanyanya dengan suara datar. Namun, mukanya asli nyebelin.

“Kamu yang kenapa! Aku lagi sakit, nangis-nangis gini, kamu malah teleponan sama perempuan lain!”

“Kamu nelepon siapa tadi? Orangtuamu? Lapor? Ngadu?”

Aku serasa mati kutu. Mas Sean kenapa malah menghakimiku.

“Kamu mau pulang?” tanyanya lagi sambil masuk dan menutup pintu rapat-rapat. “Nggak akan bisa!”

Aku kaget. Mendadak terhenyak. Suamiku … ternyata selain suka marah dan galak, dia juga kejam. Ya Allah, salah apa aku bisa nikah sama cowok kaya gini?

“Mas! Bukain pintunya! Jangan kurung aku!” kataku sambil bangkit dari tempat tidur.

“Nggak akan. Kamu di kamar ini. Sama aku. Nggak boleh ke mana-mana.” 

Mas Sean memalangi pintu dengan merentangkan kedua tangannya. Apes, pikirku. 

“Aku teriak kalau Mas ngurung aku di sini. Biar tetangga pada dengar!” 

Suamiku menarik napas dalam-dalam. Mukanya kaya capek sekaligus bosan. Dia pikir, cuma dia yang tertekan?

“Kita jalan aja, yuk? Kayanya kamu butuh piknik,” kata Mas Sean sambil meletakan telapak tangannya ke dahiku.

“Is, apaan, sih!” jawabku sebal sambil menepis tangannya. “Bunda udah otw. Mau ke sini jemput aku!” 

Cowok itu langsung berubah muka. “Jadi kamu nggak bercanda?”

“Ngapain aku bercanda! Aku capek, Mas. Aku mau pulang.”

“Ega, ini pernikahan. Bukan main suami-suamian. Kamu sadar nggak sama yang kamu lakuin?” Suara lelaki itu mulai tegas. Wajah tampan itu malah pekat sekali aura mistisnya kalau sudah bicara seserius ini.

“Kamu kan, yang memulai? Ngatain telur dadarku Zimbabwe, mie instanku kaya ibu-ibu beranak, bikin aku jadi luka. Eh, tadi kamu malah nelepon cewek! Itu Brigitta, kan? Ngapain pagi-pagi Minggu begini dia nelepon? Bisnis kalian itu nggak ngenal weekdays atau weekend, ya?”

Cup! Mas Sean mendaratkan ciumannya. Tepat di atas bibirku. Membuatku terperanjat dan nggak mampu lagi buat buka mulut.

“Udah, ngomelnya?” tanya cowok itu sambil menjauhkan kepalanya.

Aku diam. Masih membeku dan merasa ada sensasi aneh. Mas Sean … kan, aku udah bilang, aku belum bisa diginiin!

“I love you. Itu kan, yang pengen kamu dengar?”

Sekujur tubuhku merinding. Aku memang suka sama Mas Sean, tapi aku nggak yakin kalau ada cinta di hati ini. Aku sebenarnya juga nggak ngerti cinta itu kaya apa, sejak kejadian sembilan tahun lalu …. Ah, lupakan. Tubuhku langsung gemetar kalau ingat itu. Nggak, nggak! Aku harus lupa. Aku harus sembuh dari trauma itu.

“Mas, aku ….”

“Kamu kenapa?” tanyanya sambil meremas lembut kedua pundakku.

“A-aku … belum siap,” kataku sambil menunduk lesu.

“It’s okay. Aku nggak pernah maksa. Cuma, aku minta ke kamu buat nggak ngambekan. Buat nggak sedikit-sedikit lapor. Kamu yang minta buat dinikahin, kan? Kamu sendiri yang nerima perjodohan ini, kan? Kenapa sekarang jadi kaya gini? Please, jangan bawa-bawa Bunda ke masalah kita.”

Perasaaan menyesal itu tiba-tiba muncul. Sekujur tubuhku rasanya kini meriang. Terlebih ketika terputar kilas balik masa lalu yang seharusnya telah lenyap di ingatan. Ya Allah, aku takut. Tolong hilangkan memori itu!

“Mas, kalau kita pisah aja, gimana?” tanyaku dengan perasaan tak menentu di dada. Segerombolan trauma akan kisah kelam itu kini menghantam kepala. Membuatku berpikir jika mungkin Mas Sean suatu hari nanti juga tak akan bisa menjadi sosok pria yang menyayangiku. 

“Pisah? Semudah itu?” Muka Mas Sean terlihat pias. Nada bicaranya syok. Aku pun setali tiga uang dengan suamiku. 

Mas, aku aneh, ya? Aku juga bingung, Mas, kenapa aku kaya gini. Aku sebenarnya udah hampir sembuh karena luka sembilan tahun lalu itu. Namun, perlakuanmu hari ini entah mengapa membuatku tiba-tiba teringat lagi dan merasa begitu sakit. 

(Bersambung)

Malam Pertama dengan Om-om Pilihan PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang