BAGIAN 4
“I-iya … biar kamu nggak capek lagi lihat istri nyebelin kaya aku!” Aku gemetar lagi. Merasa deg-degan. Keringat sebesar biji jagung pun mulai menetes dari dahi.
“Udah, deh, Ga. Kita akhiri aja semua drama ini. Aku minta maaf karena udah kasar ke kamu. Aku nggak bakal nyuruh kamu masak lagi. Kita baikan, ya? Jangan minta pisah segala.” Mas Sean memelukku. Agak kencang. Membuat aku jadi agak sesak karena dekapannya itu.
“Mas, percuma. Ingatan itu muncul lagi,” lirihku sambil membenamkan diri ke dada bidangnya.
“Kamu ngomong apa, Ga?” tanyanya dengan suara agak keras, lalu melepaskan pelukan.
Cowok itu menatapku sambil memegangi kedua pipi ini. “Lupain,” jawabku acuh tak acuh sambil buang muka. Sementara air mata sudah meleleh di pipi. Heran, kenapa aku jadi gini lagi, sih?
“Kamu kenapa? Ada yang masih mengganjal?”
“Aku mau pulang aja, Mas. Aku pengen tenangin diri.”
“Hah? Kamu masih belum maafin aku?”
Aku diam. Menggelengkan kepala. Capek sendiri sebenarnya. Karena ini bukan sekadar masalah mie tumpah dan jari yang berdarah. Pikiranku kadung teraduk-aduk lagi. Udah lama banget ini nggak muncul, tapi kenapa malah menggangguku kembali?
“Please, Mas,” lirihku lagi.
Mas Sean sekarang nggak ngejawab lagi. Dia ikutan diam. Inilah kesempatan buatku untuk berkemas dan pergi dari rumah suamiku. Bunda pasti sebentar lagi sampai.
Buru-buru aku melangkah ke lemari pakaian. Mengganti home dress alias daster selutut dengan bahan katun dan motif tie dye ini dengan sebuah blus warna oranye soft serta bawahan berupa celana jin ketat.
Mataku masih aja mengeluarkan air mata. Aku nggak mau secengeng ini sebenarnya. Namun … memori akan lelaki jahanam itu … muncul terus di ingatan. Membuatku sakit hati dan benci.
“Kita baru aja nikah tiga hari, Ga. Kamu udah menyerah secepat ini?” Mas Sean buka suara lagi. Kutoleh, pria itu masih berdiri di depan ambang pintu.
Rambut sepundakku kembali kuikat terik dengan tali karet hitam dengan bandul mutiara di kedua ujungnya. Aku berusaha untuk senyum di depan Mas Sean, meski rasanya sakit.
“Aku butuh tenang dulu, Mas,” kataku pelan. Air mata ini cepat-cepat kuusap dan aku pun segera bergerak ke meja rias yang berada di depan ranjang, tepatnya tak jauh dari posisi Mas Sean berdiri. Kuambil tas selempangku yang tersangkut di ujung sisi kanan cermin meja, lalu kusampirkan ke pundak. Lalu, aku berjalan lagi ke nakas samping ranjang untuk menyambar ponsel.
“Mas, aku mau nunggu di depan,” kataku sambil berusaha untuk membuka pintu yang dihadang oleh Mas Sean.
“Aku ikut,” jawabnya dengan nada ketus.
Aku langsung menoleh ke arah cowok yang memiliki kaki berbulu lebat dan kedua tangan bertelapak lebar itu. What? Ikut?
“Nggak usah. Ngapain juga?” tanyaku geram.
“Kamu istriku. Ke mana pun kamu pergi, aku ikut. Karena kamu tanggung jawabku.”
Aku tertegun. Agak tersentuh, tapi hatiku telanjur sakit.
“Nggak perlu, Mas. Aku mau pulang.”
“Ega, tolong jangan habiskan sabarku, meski aku tahu sabarku pasti nggak akan habis kalau buat kamu.”
Aku langsung menatapnya dalam-dalam. “Ada Brigitta. Dia lebih oke. Meskipun bukan anak owner,” kataku dengan decihan muak.
“Kamu mikirnya aku mau sama kamu karena anaknya owner, gitu? Demi Tuhan, aku sayang dan cinta karena kamu seorang Ega Yahya, bukan karena siapa orangtuamu. Om Yahya memang orang hebat. Pengusaha kaya, tapi bukan itu yang bikin aku mau ke kamu!” Mas Sean, masih dengan nada tingginya, menuding wajahku. Ini yang bikin aku kesal sama dia. Tempramen dan nggak bisa ngambil hatiku. Siapa yang nggak tertekan?
“Ya, nggak usah bentak-bentak, Mas!”
“Argh! Selalu aja aku yang salah!” Mas Sean marah. Setengah berteriak sambil menarik rambutnya dengan kedua tangan. Aku makin kaget. Makin sesak dan teringat akan detik-detik mencekam sembilan tahun lalu itu. Teriakan itu … begitu membuatku takut.
“Duh, kan, nangis lagi!” keluh Mas Sean gara-gara aku tersedu-sedu lagi.
Ponsel di dalam tasku tiba-tiba berdering. Aku yang masih menangis, cepat merogoh tas. Kuambil ponsel dari sana dan lihat ada nama Bunda di layar.
“Biar aku yang angkat,” kata Mas Sean sambil merebut ponselku.
“Mas! Kembalikan!”
Namun, suamiku mengacungkan ponsel itu setinggi-tingginya. Membuatku sulit menggapai dan akhirnya aku yang kalah.
“Halo, Bunda. Ini Sean,” jawab Mas Sean sambil menempelkan ponsel ke telinganya.
“Bunda! Tolong Ega!” Aku menggunakan kesempatan itu untuk berteriak nyaring. Membuat mata Mas Sean langsung membelalak besar.
“I-iya, Bun. Sean sama Ega keluar. Bentar ya, Bun.” Muka Mas Sean langsung pucat pasi. Suaranya kedengara gemetar. Dia pasti takut sama Bunda. Rasakan!
“Ega, kamu bikin semuanya runyam!” Mas Sean menggelengkan kepala. Tangannya langsung cepat membukakan kunci pintu kamar.
Aku terpaku saat Mas Sean membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakanku buat keluar. “Ingat, Ga, rumah tangga itu bukan mainan. Kalau kamu mau pergi dari sini, silakan. Namun, asal kamu tahu, aku nggak pernah ngasih izin buat kamu ninggalin rumah ini, karena ini tempat tinggalmu. Ini istanamu. Rumah orangtuamu itu bukan lagi tempat tinggalmu.”
Kata-kata Mas Sean membuat aku diam seribu bahasa. Kulihat kedua manik hitam milik suamiku. Berkaca-kaca. Mas Sean … apa aku udah bikin kamu sedih?
(Bersambung)
Sudah tersedia ebooknya ya kawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Pertama dengan Om-om Pilihan Papa
RomanceSaat aku harus terjebak perjodohan dengan pria dewasa ....