Pagi-pagi Emily berlatih dengan busurnya ditemani Ethan. Mereka berdua bertarung secara intens di lapangan tak jauh dari penginapan, sementara Frost rebahan di dekat mereka berdua.
Ethan harus membentangkan energi pertahanan di sekeliling, karena benturan dua regalia cukup untuk memengaruhi sekitar.
"Oke cukup," seru Ethan melihat Emily kelelahan. Meski sorot matanya masih belum menyerah. Dia mendekati kekasihnya sembari mengambil botol air minum dan handuk bersih dari udara kosong. "Banyak kemajuan dibanding pertarungan kita sebelumnya, kau berlatih dengan siapa? Apa si brengsek penengah Pandawa itu?"
"Terima kasih," ucap Emily mengambil handuk dan botol air, dia mengusap keringat dengan handuk, dan minum beberapa teguk air mineral. "Iya, Guru Arjuna sendiri yang mengajariku ketika aku bermeditasi dengan Gandeva, tapi Dewi Agni juga membantuku,"
"Dia tak macam-macam denganmu, kan?" tanya Ethan dengan suara rendah, namun terdengar mencurigai Emily.
Emily tertawa, seraya membetulkan letak kacamatanya. Dia lantas mencium pipi Ethan.
"Tak ada yang lebih kucintai di dunia ini dibanding dirimu, Ethan,"
"Yayaya, aku percaya," Ethan mencium kening Emily.
Keduanya beristirahat sebentar, lalu membersihkan diri, dan berangkat agak siang setelah sarapan pagi menuju kastil utama tempat ketiga saudari peramal berada.
Antrean menyusut cepat hingga tiba datang Ethan dan Emily mendapat panggilan. Beberapa penjaga menggeledah Ethan, ketika tangan mereka akan meraba tubuh Emily, tangan Ethan menyambar cepat.
"Mau apa kau?" tanya Ethan sengit.
"Tentu saja melaksanakan tugas kami," jawab penjaga itu cengengesan.
"Apa tak ada petugas perempuan di sini?" tanya Ethan lagi.
"Kau kira perempuan lemah ada di sini? Mereka adanya di distrik lampu merah sana," tunjuk penjaga itu menyunggingkan senyum.
"Kalau begitu, aku menolak penggeledahan yang kalian lakukan," tukas Ethan enteng.
"Tak ikut aturan, tak boleh masuk,"
Ethan menyambar tangan Emily, menggenggam erat dan menariknya melangkah maju. Belasan penjaga langsung mengacungkan ujung tombak ke dada Ethan.
"Kalian yakin?" tanya Ethan mulai tak menyukai perlakuan penjaga kastil.
"Bocah sepertimu jangan berlagak seolah mendapat kekuatan dewa," dengus salah satu penjaga.
Ethan melepas pegangan tangan Emily, dia berkata lirih kepada kekasihnya untuk tetap diam di tempat. Tubuh Ethan mulai teraliri energi listrik.
Para penjaga mulai bertukar tatap, mereka berpikir ada sesuatu yang salah. Mereka tanpa sadar mundur.
Ethan mengendorkan energinya, dia melangkah maju diikuti Emily. Namun tiba-tiba dia menabrak sesuatu yang keras.
Ternyata dia menabrak tubuh besar berotot berkulit hitam, ketika mendongakkan kepala, Ethan melihat sosok brewok berambut tebal gimbal.
"Kupikir ada siapa ribut-ribut, rupanya hanya bocah-bocah tengik yang mau menyerobot masuk, enyahlah bocah sebelum kau menerima ajalmu!" bentak pria besar itu.
"Aku sudah membayar mahal, dan kau memintaku untuk pergi?" sebelah alis Ethan terangkat.
"Ethan," Emily memperingatkan.
Ethan menoleh ke arah kekasihnya, nyengir lebar. "Bisa kuatasi, tenang saja,"
Tiba-tiba pria besar itu itu menyabetkan pisau ke arah Ethan, goresan kecil muncul di pipi pemuda berambut coklat tersebut.