Mereka bertiga menuruni bukit yang terjal, jalan yang licin cukup menyulitkan perjalanan. Frost hampir terjatuh karena kehilangan pijakan, andai saja Emily tidak cepat-cepat menarik kalung lehernya. Menyusuri tepi sungai yang airnya keruh dan baunya menyengat, membuatmu ingin memuntahkan isi makanan di perutmu.
"Aku rasa ini bukan terbaik untuk berbulan madu," komentar Ethan mengernyit ketika tak sengaja melihat bangkai daging rusa mengambang di sungai.
"Ethan, sebaiknya kau sembunyikan saja Frost, lihat dia seperti akan sakit jika dibiarkan lebih lama mencium udara di sini," kata Emily melihat Frost lidahnya terjulur kepayahan, hidungnya mengembang ngempis.
"Oke, akan kulakuan, sini kau masuk dulu Frost," Ethan menyentuh kepala Frost yang dibalas gonggongan Ajag itu, seketika langsung tersedot menghilang ke dimensi lain.
Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri tepian sungai.
"Lihat kotanya mulai terlihat!" seru Emily, suaranya terdengar lega. Dia benar-benar ingin istirahat di atas kasur empuk, berendam air hangat, dan makan hidangan yang lezat.
Dia menggamit lengan Ethan, lalu berlari kecil riang gembira menuju kota itu. Namun, sesampainya di dekat dinding kota bayangan akan kenikmatan yang menunggunya sirna.
Dibanding kota ini lebih pantas disebut pembuangan limbah akhir. Semangat Emily langsung mengendur, wajahnya semburat muram.
Namun antrean panjang terjadi di depan pintu gerbang kota, orang-orang dari berbagai kalangan datang ingin masuk, mereka terhalang oleh pemeriksaan ketat yang dilakukan penjaga.
Orang-orang ini tak sedikit yang mengenakan pakaian mencolok dengan kereta kuda. Seakan saling berlomba memperlihatkan status bangsawan mereka.
"Minggir bocah jelek!" bentak seorang pengawal berzirah keemasan kepada Ethan.
Ethan mengacungkan jari tengahnya, Emily sampai menarik kekasihnya itu kepinggir khawatir Ethan membalas dengan kekerasan.
"Apa yang orang-orang ini lakukan di tempat sekumuh ini?" Emily heran melihat fenomena ini.
"Tentu saja karena mereka percaya ramalan, apalagi selain itu," ketus Ethan masih kesal. "Ingin kuhancurkan saja tempat ini,"
"Sabar, kau lakukan itu maka hasilnya kita pulang dengan tangan hampa," ujar Emily mengusap-usap bahu Ethan.
"Bercanda," tukas Ethan mengerucutkan bibir. Lalu, dia memperhatikan dengan saksama prajurit yang menjaga gerbang kota. "Hoplites,"
"Apa?"
"Iya itu Hoplites, pasukan militer Yunani Kuno. Sangat terkenal dengan formasi Phalanx mereka, dan diadopsi serta disempurnakan oleh Aleksander Agung menjadi Phalangite,"
Akhirnya giliran mereka untuk pemeriksaan sebelum masuk tiba. Prajurit yang memeriksa berbaju tempur mirip pasukan Yunani Kuno, mereka membawa tombak panjang di tangan, dan menggantungkan pedang di pinggang. Serta pelindung kepala yang disebut Korintus.
"5 drakhma untuk biaya satu orang, jadi 10 drakhma untuk kalian berdua," kata prajurit pemeriksa.
"Apa drakhma itu?" tanya Emily berbisik.
"Aku akan memberimu pelajaran privat soal sejarah sepulang dari misi ini," kata Ethan melirik ke arah Emily, sambil mencari-cari kepingan koin itu di kantong sakunya yang terhubung ke tempat penyimpanan dimensinya, dia menjelaskan pertanyaan dari Emily. "Itu koin Yunani Kuno, dulunya disebut drakhma, ya meski nama mata uang itu digunakan juga di zaman modern sampai berganti menjadi mata uang euro,"
"Boleh kubeli helmu dengan harga yang pantas, Tuan?" tanya Ethan sembari menyerahkan beberapa keping koin emas ke tangan prajurit. Sebagai kolektor benda antik tentu ini menjadi keinginannya menyimpan helm asli tentara Yunani Kuno.