Cerita ini berawal dari dering telepon yang berbunyi malam itu. Ponselku berbunyi. Kulihat jam di dinding kamar, pukul sebelas malam. Perasaanku tak pernah enak kalau ada telepon berdering di atas jam sembilan malam. Kebanyakan isinya kabar buruk. Kulihat nama penelepon di layar, Risa.
Risa adalah teman dekatku sejak kuliah. Sebenarnya kami dekat karena dia berpacaran dengan Fauzan (sahabat Arvi) semasa kuliah hingga kami lulus. Arvi, Fauzan, Aidil, dan Aldi akrab karena sama-sama aktif di unit kegiatan mahasiswa radio kampus, padahal mereka berasal dari jurusan yang berbeda-beda. Aldi di Teknik Industri, Arvi di Psikologi bersama aku, Aidil dan Fauzan di Komunikasi. Aku dan Arvi dipertemukan di jurusan yang sama. Kami mulai berpacaran sejak semester 2. Sejak itu, ia selalu membawaku kemanapun ia berkumpul dengan teman-temannya. Termasuk teman-teman klub radio kampus yang masih dekat sampai sekarang. Aku tidak masalah, karena teman-temannya menyenangkan dan welcome kepadaku. Aku dan Arvi seperti Lily dan Marshall dalam serial How I Met Your Mother. Kami selalu sepaket, aku menjadi bagian dari mereka.
Risa datang di tahun berikutnya. Sebelumnya Fauzan tidak pernah membawa pacar-pacarnya ke tongkrongan. Risa satu-satunya perempuan yang pernah dia ajak. Mereka on-off pacaran karena Fauzan beberapa kali selingkuh darinya. Awalnya Risa merasa dia perlu introspeksi, apa yang kurang darinya? Kedua kali, Risa sadar, tak ada yang kurang darinya, Fauzan hanya tak pernah puas. Ketiga kalinya, Fauzan bilang bahwa dia menginginkan Risa untuk masa depannya, tapi tidak sekarang karena ia belum puas bermain. Beberapa waktu kemudian Risa memutus permanen tali di antara mereka.
Fauzan tak pernah membawa perempuan lain meskipun aku tahu beberapa kali dia berhubungan singkat dengan perempuan, sedangkan Risa tak pernah bergabung lagi dengan sirkel kami. Persahabatanku dengan Risa tetap baik. Hanya saja, Risa tidak pernah bergabung dengan yang lain lagi. Jadi aku sering bertemu dengannya berdua saja.
Berteman sejak kuliah, membuat aku memahami teman-temanku. Fauzan yang tidak pernah puas dengan satu perempuan, Aldi yang tidak pernah siap berkomitmen, Aidil yang selalu mencari yang sempurna sesuai tipenya, Risa yang lurus-lurus saja sampai bikin aku bingung, mau-maunya dia sama Fauzan dan selalu memaafkannya. Arvi berbeda dengan mereka. Arvi si pria paling serius di antara mereka. Dari zaman kuliah hanya ada aku.
Kisahku dan Arvi tidak menarik dan membosankan. Seperti layaknya pasangan pada umumnya, kami bertemu, saling tertarik, kencan, cocok, berpacaran, lalu kami menunggu sampai bisa mandiri untuk menikah. Tidak ada drama cinta segitiga, tidak ada drama LDR, tidak ada drama cinta lama bersemi kembali. Kebanyakan drama kami hanyalah pertengkaran-pertengkaran soal berbeda pendapat.
Malam itu Risa menelponku pukul sebelas malam. Dengan nada khawatir aku bertanya, "Ada apa, Ris? Kok tumben malam begini?"
Isak tangis terdengar di seberang sana. Hatiku semakin resah. Kabar buruk apa yang ingin disampaikan Risa? Siapa yang meninggal dunia?
"Fauzan tadi telfon gue. Dia... mau nikah, Rin," ucap Risa pelan dan sedikit terbata.
Mataku langsung membesar. Sedikit lega karena ini bukan berita duka cita, tapi berita ini sungguh menggegerkan duniaku. "HAH SAMA SIAPA? KAPAN?" seruku langsung. Arvi sampai menoleh dan menghentikan kegiatan bermain ponselnya.
"Itu dia! Lo kenal nggak ceweknya?"
Jelas bukan Risa calonnya. Kapan Fauzan bawa cewek? Seingatku tidak ada perempuan lagi setelah Risa. Walau aku tak yakin kalau benar-benar nggak ada sama sekali. Mungkin ada, tapi tidak serius. Tapi kalau Fauzan mau nikah, kenapa cewek ini nggak pernah diajak main?
"Bahkan gue baru dengar dari lo, Ris! Dia mau nikah sama siapa deh?"
Risa diam sejenak, seperti menyelesaikan tangisnya dulu. Risa sepertinya sangat patah hati. Sebrengsek apapun Fauzan dulu, jelas Risa menyayanginya dengan tulus. Mungkin sampai saat ini sekalipun. Tapi dia tahu, dia harus realistis. Dia nggak mungkin hidup dengan orang yang dicintai tapi terus-terusan dikhianati.
"Kayaknya kita ngobrolnya langsung ketemu aja ya, Rin? Gue mau cerita tapi rasanya kayak capek banget."
Aku penasaran setengah mati. Dengan siapa Fauzan akan menikah? Kenapa tiba-tiba dia kepikiran mau menikah? Kenapa Risa begitu sedihnya? Kenapa Fauzan meneleponnya? Beberapa spekulasi yang baik dan tidak baik menghampiri kepalaku, tapi aku berusaha mengerti Risa. Ini mungkin sesuatu yang sangat mengejutkan baginya dan dia butuh memproses semua itu.
"Oke. Besok kita makan siang bareng ya, Ris?" Kantorku sebenarnya agak jauh dengan Risa. Dia Blok M, aku di Kemang. Tapi dengan taksi, semua bisa lebih mudah. Risa menyetujuinya sebelum dia mengakhiri sambungan telepon.
Arvi yang sedari tadi ikut terbangun ternyata memerhatikan aku. Ia langsung bertanya, siapa yang meneleponku? Ada berita apa?
"Fauzan telfon Risa. Dia bilang dia mau nikah. Kamu tau ceweknya?" Siapa tahu cowok-cowok dapat kabar duluan? Tapi kalau Arvi diberi kabar seperti itu oleh Fauzan, sudah pasti dia langsung bocor ke aku. Seperti dugaanku, wajah Arvi juga nampak terkejut dengan kabar itu. Pertanyaannya pun sama denganku. Itu artinya, Fauzan baru cerita ke Risa saja.
****
Besok siangnya aku benar-benar janjian makan siang dengan Risa di sebuah restoran Italia daerah Kemang. Ketika dia datang, kulihat matanya masih sembab. Hari itu dia sebenarnya izin cuti. Semalaman pun dia tidak bisa tidur dan akhirnya dia memutuskan untuk cuti satu hari. Makanya dia memilih restoran yang berada di sekitar area kantorku.
Setelah berbasa-basi soal kabar dan memesan makanan, aku mulai membuka obrolan, "Jadi? Sebenarnya gimana ceritanya?"
Tanpa ragu, tanpa sungkan, dia mulai menceritakannya, "Dia telfon gue, dengan kalimat yang dipotong-potong. Pertama dia bilang, dia mau nikah. I was like... okay... gue tanya, sama siapa? Dia bilang gue nggak kenal. Mungkin saat itu gue masih syok, masih bingung. Ada apa? Kenapa? Terus tiba-tiba dia bilang, dia sayang gue, selalu sayang sama gue. Gue dengar dia kayak... nangis.
"Dia bilang apa yang dia lakukan saat ini itu hanya bentuk tanggung jawab. Karena dia sayangnya cuma sama gue," Risa menghentikan cerita. Matanya mulai berkaca-kaca. Aku meraih lengannya, seolah memberinya kekuatan. "He said he messed up and he doesn't deserve me. Mungkin itu bisa jadi komunikasi terakhir kami. Karena dia sendiri tau, gue bukan perempuan yang tega merusak hubungan orang lain."
Spekulasi burukku sepertinya benar. Fauzan menghamili orang. Mungkin teman tanpa statusnya.
"Gue kok bego banget ya, Rin? Walau selalu nampak tough di muka, another part of me, deep down, gue masih aja berharap Fauzan akan berhenti dan gue jadi pemberhentian terakhir dia. Nggak nyangka gue akan jadi cewek-cewek 'itu'. Yang punya harapan jadi 'game changer'. Padahal realitanya, i would never be enough," ujar Risa dengan senyum getir.
"No, you're not stupid. Harapan adalah hasil dari perasaan yang selalu lo pupuk dan lo rawat selama ini. Bahkan ketika lo udah putus, lo masih care sama dia. Ini manusiawi. Bodoh itu dinilai dari keputusan yang lo ambil dan lo udah cukup waras untuk memutuskan berhenti menyakiti diri sendiri," ucapku untuk membesarkan hatinya. Juga pendapat pribadiku menurut apa yang aku yakini.
"I thought love like this only happened once in a lifetime."
"What is love, anyway?" Menurutku cinta itu banyak bentuknya. Nggak bisa didefinisikan hanya dengan satu contoh.
"You–Arvi?"
Aku tersenyum simpati. "It was hard work for years. And we just feel enough. Fauzan nggak pernah merasa cukup, Ris. Bukan lo yang nggak pernah cukup untuk dia."
"Yeah, I know. Dia memang gila."
"Mungkin, peristiwa besar ini bisa bikin dia lebih dewasa?"
Risa tersenyum getir lagi. "Gue rasa itu juga yang bikin gue benar-benar... apa ya? Runtuh aja gitu, malam itu. Fauzan mungkin nggak cinta sama cewek itu. Tapi dia pasti cinta sama anaknya."
Malam itu mereka seperti saling melepas satu sama lain. Fauzan merasa dia tak akan pernah punya kesempatan bersama Risa lagi, karena dia tahu Risa perempuan yang punya prinsip. Kenyataan sudah memperlihatkan padanya. Secinta apapun Risa padanya, kalau Risa bilang tidak akan bersama lagi, maka tidak. Dia tidak akan bisa mendapatkan Risa lagi setelah ini.
Sedangkan hati kecil Risa yang naif seolah terkoyak malam itu. Kenyataan bahwa Fauzan akan menikah dengan orang lain karena sebuah kesalahan, artinya Fauzan tak pernah berubah. Fauzan tidak akan pernah merasa cukup. Sampai akhirnya takdir sendiri yang menentukan jalannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Good To Be With You (On Karina's Mind)
RomanceBerteman sejak kuliah, membuat aku memahami teman-temanku. Fauzan yang tidak pernah puas dengan satu perempuan, Aldi yang tidak pernah siap berkomitmen, Aidil yang selalu mencari yang sempurna sesuai tipenya, Risa yang lurus-lurus saja sampai bikin...