6. Takdir untuk Kembali

4.6K 843 1.4K
                                    

6.

----

"Udah nggak sama Afkar?"

Pertanyaan Nathan memecah keheningan. Salma mengedikkan bahu sambil menatap lurus pada TV yang kini sedang menonton mereka.

"Dia emang harusnya dapet yang lebih baik dari aku, sih, orang kayak Afkar pantesnya sama seseorang yang bisa ngertin dia, yang nggak menghakimi dia, yang pola pikirnya bisa mengimbangi dia. Dia seharusnya bisa bersama seseorang yang sama dewasanya."

Nathan mengernyit. Terkejut mendengar pernyataan Salma. Salma yang dia kenal tidak mungkin se-insecure itu.

"Dia selingkuh."

"Anj—anjing!" Nathan tergagap, kaget mendengar itu. "Dia selingkuh? Wah anjing tuh orang, nggak bisa dibiarin, di mana rumahnya Sal? Brengsek, bangsat tuh orang, bisa-bisanya wah anjing, bener-bener anjing!" Nathan naik pitam. Cowok itu berdiri. Nada suaranya naik seoktaf. Tidak lagi selembut tadi, kali ini cowok itu mengaktifkan mode petarungnya yang sudah lama terpendam. "Gue datengin deh, tunjukin rumahnya Sal. Gue abisin dah malam ini juga."

"Iiish nggak usah, Nath! Ngapain!" Salma menarik Nathan duduk kembali di kursinya. "Nggak usah, ih! Lagian dia punya hak kok buat selingkuh."

"Hak berselingkuh? Sejak kapan orang punya hak selingkuh? Yang jelas, orang-orang selingkuh itu orang yang nggak bertanggungjawab sama pilihannya. Nggak bisa berkomitmen! Orang-orang yang payah!"
Salma tertawa. "Kok malah kamu yang marah, sih?"

"Marah lah, Sal, saya lepasin kamu ke dia karena saya yakin dia bisa bikin kamu bahagia. Tapi yang kejadian justru sebaliknya ... coba tunjukin di bagian mana harusnya saya nggak marah?" Ucapan Nathan terdengar jujur, seandainya Salma tahu, selama tiga tahun terakhir Nathan berusaha mencari berbagai macam cara hingga jungkir balik untuk bisa melupakan kenangannya bersama Salma. Nyatanya tetap tidak bisa. Salma ada di mana-mana. Gadis itu ada di tiap sudut penjuru kota Jakarta. Gadis itu ada di tempat ketoprak langganannya. Tawanya ada setiap kali Nathan melihat video lucu, teringat kalau ada Salma, dia pasti akan menunjukkan video itu dan mereka tertawa bersama. Membuat Nathan teringat kalau Salma sudah melekat begitu erat dalam hidupnya.

Salma berdeham, merasa situasi bergerak tidak nyaman.

"Ya udah aku ... ke kamar dulu ya."

Salma bergerak bangkit, Nathan menahan pergelangan tangannya. Mereka berdua bertatapan canggung. "Ya?" Salma tampak kikuk.

"Salah arah, ke sana harusnya Sal."

"Oh iya ...," Salma terlihat malu. "Lupa. Maklum, rumah baru sih, jadi nggak ngeh."

"Oke, good night, Sal."

Nathan mengangguk. Salma melangkah menuju ke kamar tamu. Gadis itu membaringkan tubuhnya di ranjang yang empuk, matanya memandang ponsel. Bahkan wallpaper yang dia pakai masih ada foto dia bersama Afkar. Gadis itu memejamkan mata dan tanpa terasa setetes air mata hangat meleleh mengalir ke pipinya.

****

Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Salma beranjak bangun ketika mencium aroma roti panggang dari luar. Lalu dia melihat Bi Ijah sudah berdiri di belakang pantry mengenakan daster batik. "Pagi, Non Salma, wah baru bangun aja udah cakep." Bi Ijah berbinar. Salma terkekeh, mendekati Bi Ijah.

"Bibi kok wajahnya gitu-gitu aja, sih, nggak menua, malah makin muda."

"Weleh weleh bisa aja, udah ketularan sikap Nathan ini yang suka gombal."

"Bener ih, aku lagi nggak ngegombal."

"Non juga makin cantik, dulu kayaknya Bibi ngeliat masih pakai baju anak SMA, sekarang udah kerja aja ...," Bi Ijah menatap Salma tulus, selayaknya seorang ibu yang melihat tumbuh kembang putrinya kian beranjak dewasa. "Bibi inget banget dulu ya, waktu Non Salma diajak Nathan ke rumah buat belajar sampai malem. Ternyata udah bertahun-tahun lalu ya, nggak terasa."

WELCOME NATHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang