5. Semesta yang Kembali Berpihak

5.3K 852 1.1K
                                    


Part 5:

Salma berusaha berdiri dari posisi jongkoknya, kakinya terasa lemas dan kesemutan. Tubuhnya nyaris limbung kalau saja tangan Nathan tidak dengan cekatan menahan punggungnya. Salma mengusap air matanya. "Kamu ngapain malam-malam nangis di sini?" tanya Nathan khawatir.

Sudah tiga tahun mereka tidak bertemu, dan kini mereka dipertemukan dalam situasi yang tidak seharusnya—setidaknya buat Salma. Dia tidak ingin Nathan melihatnya di kondisi menyedihkan. "Aaa ... ini ... aku ...,"

"Mogok?"

Kepala Salma terangguk.

"Terus ponselku mati waktu mau nelepon dealer terdekat."

"Biar saya liat mobilnya, boleh?"

Kepala Salma mengangguk lagi. Setelah mendapat izin, Nathan pun membuka kap mobil Salma. Setelah beberapa menit mengutak-atik. Nathan kembali menutup kap mobil. "Aki-nya bermasalah, kayaknya harus ditinggal mobilnya. Besok baru bisa dicek. Di sini aman sih, saya sering lewat sini, banyak orang pos ronda. Nanti saya bilang sama yang jaga."

Mata Nathan melirik Salma. Setelah tiga tahun berlalu, tidak begitu banyak yang berbeda, selain rambutnya yang semakin pendek, dan matanya yang sedikit bengkak. Apa gadis itu menangis sejak tadi? Apa jadinya kalau seandainya dia tidak lewat? Apa Salma akan tetap menangis di sana dengan posisi berjongkok?

"Ponselku mati, bisa bantu aku pesenin ojek online?"

Mata gadis itu mengerjap dan bulir-bulir air mata masih tersisa di kelopak matanya yang lentik. Nathan berdesis. Bahkan sudah bertahun-tahun berlalu, bagaimana mungkin perasaannya untuk Salma tidak berubah sedikit pun? Seharusnya dia kesal pada Salma, kan? Seharusnya dia membenci Salma. Seharusnya dia menjauhi segala hal yang mendekatkan dia pada Salma. "Gimana kalau saya yang anter?"

Pertanyaan itu seolah de javu. Salma seperti terlempar ke sembilan tahun lalu. Dia masih mengenakan seragam putih abu-abu, sedang menunggu jemputan ibunya, tapi ponselnya mati. Lalu dia melihat Nathan, sedang bersama gerombolan teman-temannya, dia mendekati Nathan ragu-ragu, meminta pertolongan untuk dipinjamkan ponsel agar dia bisa menelepon ibunya, tetapi yang terlontar dari bibir Nathan adalah pertanyaan serupa. "Gimana kalau saya yang anter?" cara pria itu mengucapkan kalimat, cara dia menatap, bahkan masih serupa.

Rentang sembilan tahun seolah tergilas kecepatan cahaya.

"Kamu pesenin aku ojek online aja gimana?"

"Di jam segini mau naik ojek online? Bukan apa-apa, nih, saya kemarin baru aja baca berita ada cewek dibawa kabur ojek online." Nathan tidak berusaha menakut-nakuti, tapi berita itu memang baru saja terjadi. Akan jauh lebih aman kalau Salma pulang dengannya. "Nggak apa-apa, saya anter aja."

Salma mengangguk.

Perhatian Nathan kembali tertuju ke wajah Salma. Dia terlihat pucat, bibirnya bergetar. Ingin rasanya dia bertanya, "kamu udah makan?" tapi mengingat hubungan mereka, rasanya itu terlalu kelewat batas. Bukankah dia seharusnya memasang sebuah benteng untuk Salma?

Nathan melepaskan bomber hijaunya dan memberikan ke Salma. Gadis itu mendongak, menatapnya bingung. "Kamu keliatan kedinginan, nggak apa dipake aja, nggak bau keringet kok ... aman."

Salma tertawa geli dan memakainya. "Udah berapa tahun sih ini bomber? Awet banget."

"Bomber itu mah awet, Sal, yang nggak awet tuh hubungan kita," celetuknya tanpa berpikir dan membuat tawa Salma menghilang. "Eh maaf-maaf nggak bermaksud," Nathan mengutuk bibir sembrono-nya yang selalu asal bicara.

WELCOME NATHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang