Awal Kegalauan

4 1 0
                                    

Hari ini seharusnya semua berjalan dengan normal. Sinar matahari terang benderang di atas ubun-ubun kami. Lalu suara burung mampu mengalahkan suara protes dari pelanggan bubur ayam yang berkata..

'kapan pesanan kami datang!'

Lalu mbak Iyam akan membalas tidak kalah kurang ajar. 'Tunggu, atau pergi saja kalau berisik, bangs*t!' Berikut dengan sumpah serapah yang keluar dari mulutnya.

Perempuan paruh baya itu tidak pernah takut kehilangan pelanggan. Karena hal yang seperti itu tidak akan pernah terjadi. Tidak ada yang mengalahkan kelezatan bubur ayam Mak Iyam se-Ibu Kota ini.

Awalnya ku kira jampi-jampi. Tapi setelah pernah ku beli dan makan di kosan, rasanya tetap senikmat itu. Selain itu aku juga sudah baca doa akan makan. Rasanya tetap sama!

Berarti bubur Mak Iyam lolos dari hal-hal berbau mistis.

Ah, tidak sia-sia aku pernah belajar mengaji.

Nah kembali lagi soal hari yang normal. Hati ini benar-benar tidak normal.

Semua itu bermuara pada sosok Naira yang teronggok seperti daging beku. Wajahnya pucat serupa manusia yang baru saja terjebak dari kulkas.

Aku ingin memulai sebuah pembicaraan yang casual. Tapi garis muka yang tampak begitu banyak beban di depanku ini membuat bibir seperti sudah dijahit. Kedua sisinya sulit untuk terbuka.

Hmmm...

Bibirku bergetar saat mencoba memulai sebuah percakapan 'normal'. Namun suara yang dikeluarkan lebih terdengar seperti kucing garong yang kesemutan.

Naira masih fokus mengaduk bubur ayam. Ia begitu terus selama 10 menit kebelakang. Belum satu sendok pun bubur ayam mendarat ke dalam lambungnya.

Apakah ini berkaitan dengan narasumber yang belum ia dapatkan? Atau masa tenggat artikel yang mendesak sehingga mukanya seperti orang menahan berak.

Tidak ada yang tahu, Naira masih bungkam perihal apa yang telah membuatnya merana.

"Aku baik-baik saja," kata Naira tiba-tiba.

Ia sepertinya risih karena dilihat seperti itu. Siapa juga yang tidak sadar dipelototi selama belasan menit. Sejak pantat kami duduk di kursi kedai bubur Mak Iyam, aku memang terus memerhatikan.

Bagaimana tidak? Biasanya Naira masuk dengan beringas. Berhasil memotong antrian (jangan ditiru), lalu tertawa terbahak-bahak menceritakan kisah lucu di lapangan.

Kali ini bubur ayam Mak Iyam hambar karena tidak ada cerita dari Naira.

"Ada apa?"

Akhirnya keberanian itu muncul juga.  Bibirku mampu mengeluarkan dua patah kata.

Yang ditanya hanya mengangkat muka. Tidak menjawab, dan malah menatap wajahku sambil melempar sebuah senyum paling manis.

Tangannya mengibas dua kali sebelum aku sempat memberikan respon apa-apa. Sebuah isyarat bahwa tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Ia lalu pergi dan bergegas menuju parkiran.

Beberapa saat aku merinding. Naira bisa tersenyum semanis itu? Apakah ia kerasukan jin ifrit?

Sebentar. Astaga. Perempuan itu belum membayar buburnya! Aku lengah.

****

"Anwar, ada salam dari ruang editor noh."

Aku baru saja tiba di dalam ruangan. Belum sampai betul di meja kerja, tapi benda yang dibungkus oleh kado bewarna biru laut sudah terlihat.

Hai Naira, Mau Menikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang