Hei Naira!

39 6 2
                                    

Ayam sudah menunaikan tugasnya dengan sempurna satu jam yang lalu. Tapi tidak denganku. Masih ada setumpuk berkas yang menunggu di kantor. Lebih tepatnya file sih.

Begitu pula dengan bubur Mak Iyam di pertigaan depan perumahan. Sudah sedari tadi keributan dari mulutnya keluar tanpa henti seperti senapan kaliber berburu milik Iwan Ali di kampungku sana. Ramai.

"Sudah seperti jualan baju saja. Padahal cuma jualan bubur," rengutku sambil menyambar handuk. Tapi sejujurnya aku merasa beruntung. Karena suara Mak Iyamlah aku menyadari jika sekarang sudah pukul 6 pagi. Sikap workholic ku yang semakin akut akan membuatku tetap 'betah' di atas tumpukan berkas dan laptop butut itu.

Mungkin sebenarnya aku sudah tidak perlu alarm lagi untuk bangun. Cukup mendengarkan kebisingan suara Mak Iyam, jam kerja pagiku pasti terselamatkan.

Tunggu. Bukankah gadis tomboy itu memintaku untuk membangunkannya pagi-pagi?
Ah tidak, aku seharusnya sudah mengobrak-abrik room chat perempuan 'nyentrik' itu setengah jam yang lalu. Mati aku!

Dengan sepenuh jiwa ku raih android yang masih terpasang pada kabel charger (bodoh kau Anwar. Membiarkan hp tercolok semalaman, sama saja memperpendek umur android).

Dia harus bertemu salah seorang narasumber penting hari ini. Perempuan payah itu sudah dapat dipastikan tidak akan sukses bangun di hari Senin.

Dengan tergesa-gesa ku telepon dia. Lima kali, tidak diangkat. Aku mulai resah. Tidak gampang membuat temu janji dengan Narasumber ini. Dia bisa dibantai dan digeret ke tiang bendera jika dengan semena-mena membuat kolom headline majalah bulan ini kosong melompong.

Syukurlah, untuk yang 10, telepon berdering karena telah diangkat seseorang (thanks untuk kesabaran diriku yang tidak terhingga).

"Nai! Bangun!!!!"

Tidak ada jawaban. Anehnya suaraku terdengar bergema di dalam telepon. Seakan aku berada di tempat yang sama dengannya.

"Nai?" Aku kembali memastikan jika orang ini masih hidup.

Tok..tok!
Pintu lapuk itu berbunyi dengan beringas berkali-kali. Tentu saja pukulan tangan yang beringas itu hanya bisa dilakukan oleh seseorang. Aku tidak perlu pelik untuk berpikir siapa orangnya. Sudah hapal dan terpaksa 'memaklumi' mungkin.
"Iya, Nai!"

Kepalaku yang masih berat karena baru saja bangun tidur membuat tubuhku cukup limbung dibawa untuk berdiri. Santai dong ngetok pintunya woi!

Aku tidak begitu peduli dengan ruangan kamar yang hampir mirip dengan sekoci pecah. Kenapa tidak kapal pecah? Karena kamarku terlalu mewah jika dianalogikan dengan kapal.

Ruangan kecil begini kok.

Aku masih meraba-raba kunci dan memutarnya dengan segenap jiwa. Ada sebuah kecemasan jika nanti engselnya lepas kalau terlalu kuat menarik daun pintu.

"Iya!" Kepalaku sudah cukup kuat untuk tidak sempoyongan. Kunci kamar terbuka dan taraaa! Aku tinggal menariknya dengan manusiawi dan semuanya akan baik-baik saja.

GUBRAAK!!!!

Ah tidak. Pintu yang ku harap masih bisa bertahan sampai penghujung akhir tahun itu pun tewas seketika. Berkat dorongan perkasa dari perempuan berperawakan kekar ini, pintu itu telah sampai pada usianya.

Lepas, berikut dengan engselnya.

"Jelas udah telat, kenapa masih ke sini, gila!" Aku masih kesal dengan pintu yang sudah tergelatak layu tak berdaya di dinding.

"Mau nitip ini!"

Perempuan itu menyerahkan sebuah buku tulis tebal bersampul cokelat yang muram. Jelas buku itu sudah berumur belasan tahun lebih. Aku saja sudah melihatnya sejak pertama kali berkenalan dengannya. Hmmm kira-kira 8 tahun yang lalu?

Hai Naira, Mau Menikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang