Anak hawa itu menguap, sekon kemudian terlambat menutupnya. Candra beringsut, terkikik; iseng menyoroti fana jelita yang menggerutu tanpa vokal. Nemiya mengeratkan hoodie cokelatnya, angin malam memang tidak bisa diajak kompromi.
Matanya menitik fokus terhadap entitas pemuda jangkung di seberang balkonnya. Surainya mencuat serampangan ditambah ekspresi terlampau kalap dikecup lelah.
"Malam," sapa Chigiri. Bibirnya bersenggang dua ruas jari dari gawai, kemudian suaranya menyusul terpantul dari gawai kepunyaan Nemiya.
Nemiya memilih opsi untuk mengatup bibirnya. Memandang arkana lamat-lamat seiring ia berpangku pada pagar balkon. Sudah tiga bulan lebih sewaktu embaran merebak dalam kota, awal-awal sekadar libur dua minggu yang kini berekstensi berbulan-bulan sebab keberadaan wabah yang menjangkit setiap lapisan masyarakat.
Sukar sesungguhnya—barangkali bagi Chigiri—mampu bersua namun tak mampu merengkuh hasta. Itupun dari balkon yang secara kebetulan mereka bertetangga.
Pemuda jangkung itu berucap, "Saya capek."
"Istirahat."
Chigiri menggeleng, air wajahnya kecewa. Bibirnya mengerucut. Ia mendesah kasar. "Saya mau kamu."
Gadis elok itu nyaris terbahak, kepalanya me-reka ulang barisan kata yang lolos dari bibir anak adam, seakan menggelitik humornya. Chigiri Hyoma itu manja. Persona yang merana tanpa afeksi. Pemuda itu akan merasa seolah-seolah semesta mencuekinya jika tidak ada Nemiya bersamanya. Mengandai-andai Nemiya adalah baterai hidup Chigiri.
Atau secara hiperbolis menurut Vonnegut, "Kita mengerti satu sama lain dalam tengkorak putih kepunyaan kita."
Satu paket tidak bisa diganggu gugat. Saking terbiasanya bersama nemiya, perihal perkara besar hingga kecil, atau sekadar konsep tak berakar pun ia beritahu Nemiya. Apabila tidak ada yang menanggapinya, ia akan merajuk setengah mati.
"Tuh kan saya dicuekin," cibir pemuda merah jambu tersebut. Menatap nemiya satiris.
"Kalau cape: tidur, jangan pegang ponsel, jangan telpon, jangan berpikir macam-macam."
"Nemiya, saya maunya kamu, gimana dong?"
"Saya maunya tidur, gimana dong?"
"Nemi jahat."
"Oh, yaudah. Saya tidur aja, bye."
"Nemiya!"
Nemiya berkedip, air wajahnya masam. Berupaya tidak terkesan ketus kendati keningnya mengkerut. berbicara nyaris tengah malam begini, menuntun dara itu pada kondisi paling buruk, mengantuk. "Apa?"
Senyum tipis terpatri di pipi Chigiri, terkekeh kecil. Meniti pundak kesayangannya yang bergetar subtil di tengah hiruk-pikuk embus nafas cuaca berjelaga. Merasa bersalah, jika saja ia bisa merengkuh Nemiya. Mengecupi keningnya dan memastikan perempuan itu tak beringsut dari jemarinya.
Punyanya, punya Chigiri—duh, jadi rindu berat nih.
"Saya cinta kamu, garis bentang benua. Bukan garis keras lagi." Nemiya mendadak bergeming, alhasil membuat Chigiri tergelak. "Lucu banget, ya ampun, saya cium aja ya?"
· · ─────── fin ─────── · ·
KAMU SEDANG MEMBACA
Raison D'etre
FanfictionBahkan jarak dan waktu terasa fana ketika aku memikirkanmu ──────── ⋆⋅☆⋅⋆ ──────── ━𝘾𝙍𝙀𝘿𝙄𝙏𝙎 • Blue lock © Yūsuke Nomura & Muneyuki Kaneshiro Stories and ocs © blue_loeuvre