Hal yang paling tidak ingin ia lakukan dalam hidupnya adalah kembali ke tempat yang menorehkan banyak luka untuknya. Namun, takdir sekali lagi membuat lelucon untuknya. Ia harus kembali ke tempat yang sangat tidak ingin ia datangi.
Selalu ada pilihan sulit dalam hidupnya, tapi demi orang yang sangat penting untuknya ia tidak akan ragu untuk memilih.
Dan di sini lah ia berada saat ini, di sebuah bandara yang delapan tahun lalu juga ia datangi.
"Bu Scarlett, mobil kita di sebelah sini." Hannah, asisten pribadi Scarlett memberitahu Scarlett yang saat ini sedang memegang ponselnya.
Ia baru saja memberi kabar pada Livy, sahabatnya yang saat ini berada di Paris bahwa ia telah sampai di New York.
Scarlett menggenggam ponselnya, ia menyeret koper yang ia bawa dan melangkah mengikuti Hannah. Sebuah mobil Audy hitam telah menunggu mereka.
Wanita cantik dengan setelan berwarna putih dengan potongan rumit itu masuk ke dalam mobil setelah Hannah membukakan pintu untuknya.
Ia melepas kaca mata hitam yang ia kenakan, mata birunya yang tenang menyapu ke arah jendela.
Perasaannya saat ini rumit, pemandangan kota terasa akrab untuknya, tapi juga asing di saat bersamaan. Segala kenangan buruk menghantamnya. Kedua tangannya mengepal kuat.
Ia bukan lagi gadis naif delapan tahun lalu. Ia sudah tumbuh menjadi lebih kuat dan kuat setiap harinya. Kali ini, siapapun yang mencari masalah dengannya, ia pasti akan membuat orang itu membayar sepuluh kali lipat.
Setelah beberapa menit perjalanan, Scarlett sampai ke hotel. Untuk sementara waktu ia akan tinggal di tempat ini sampai ia menemukan rumah yang cocok untuk ia tinggali.
Ia tidak akan pulang ke rumah ayahnya, karena baginya tempat itu tidak lagi seperti rumahnya sejak ayahnya membawa masuk istri baru dan anak tirinya.
"Kau bisa istirahat, Hannah." Scarlett memiringkan tubuhnya, menatap sekertarisnya yang memakai setelan berwarna hitam yang sangat pas di tubuhnya.
"Baik, Bu. Anda juga harus istirahat." Hannah tahu bahwa orang yang lebih membutuhkan istirahat bukanlah dirinya, tapi atasannya. Bukan hanya lelah secara fisik, tapi juga batin.
Jika ia menjadi Scarlett, mungkin ia tidak akan bisa memasang wajah setenang sekarang. Hannah sangat tahu bahwa atasannya sangat mampu mengendalikan emosinya. Hanya pada saat-saat tertentu ia akan terlihat begitu rapuh.
Seperginya Hannah, Scarlet menekan tombol, tirai yang menutupi jendela kini terbuka. Cahaya di sore hari menembus masuk ke dalam ruangannya.
Scarlett memandangi pemandangan di luar. Ia tidak mengatakan apapun, hanya menatapnya dengan tenang.
Setelah beberapa saat, Scarlett memutuskan untuk mandi dan beristirahat. Ia memiliki janji penting pada pukul tujuh malam.
Waktu berlalu, saat ini Scarlett telah siap untuk melakukan pertemuan penting. Wanita itu mengenakan gaun berwarna hitam selutut. Salah satu sisi gaun itu tidak memiliki lengan. Menunjukan tangan Scarlett yang ramping dan indah.
Rambut cokelatnya yang bergelombang diikat menjadi satu, tapi ia biarkan tidak begitu rapi. Saat ini ia tampak seperti seorang model yang akan melangkah di landasan pacu.
Scarlett keluar dari kamar hotelnya, di depan pintu Hannah sudah menunggunya.
"Bu, Tuan Michael sudah sampai di ruang pertemuan." Hannah memberitahu sembari memegang sebuah tablet di tangannya.
"Baiklah, ayo pergi." Scarlett melangkah dengan percaya diri. Dagunya terangkat dengan tatapan lurus.
Hannah membukakan lift, ia melangkah masuk setelah Scarlett masuk duluan. Hannah adalah penggemar nomor satu atasannya, ia tidak mengerti bagaimana bisa ada seorang wanita yang dilahirkan dengan begitu sempurna. Penampilannya tidak ada celah. Hannah menyebut atasannya adalah dewi penyendiri. Itu karena kecantikan Scarlett juga karena Scarlett sulit untuk didekati oleh orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pernikahan Impian
RomanceMichael O'Brian sangat membenci Scarlett Lavallea bukan hanya karena wanita itu menjebaknya, tapi juga menggunakannya untuk balas dendam pada Kyle, wanita yang seharusnya ia nikahi. Michael memperlakukan Scarlett dengan dingin setelah pernikahan mer...