Jeje dan Gengnya

7 3 0
                                    


Seperti yang telah kukatakan. Aku baru tiga bulan di esempe ini. Belum banyak orang yang ku kenal termasuk Jeje. Lengkapnya Sri Ajeng Pramesti. Ia tinggi besar, hampir sama dengan Anis. Tampak cantik dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai. Bu Mumun, guru sejarah  adalah kakak dari ibunya dan ayahnya adalah kepala sekolah esempe ini. Semua orang tau itu sebab ia sering memamerkannya. ia adalah leader dari geng yang ia sebut pretty queen.  Layaknya geng kampaknya kak Ryan, geng Jeje juga ditakuti para cewek. Mereka punya banyak koneksi, jika terlibat masalah dengannya bisa berakhir di ruangan BK. 

Masa esempe memang penuh gengsi, tiap individu kian berlomba menunjukkan eksistensi, lalu kelompok-kelompok kecil bermunculan. Level meningkat, masa esde telah usai, lembaran baru dibuka maka bagiku ini semua terasa asing, aku sulit menemukan mereka yang masih mau bermain petak umpet atau lompat tali. 

Masa esempe adalah hal baru, sangat baru.

.. 

Esempe memang ramai orang. Tapi saat aku diseret jeje dan gengnya kebelakang sekolah, tak ada yang berniat menarik menolongku, kakak kelas sekalipun. kecuali dia, cowok yang dulunya kubilang sok keren itu. Ia tersenyum sinis menatap jeje dan gengnya sembari membawaku pergi.

Siapa dia sampai mau menolongku, tidak. Siapa dia yang bahkan mau ikut campur dalam perdebatan aku dan jeje. Aku tak mengenalnya secara benar, diapun begitu, tak ada percakapan yang intens diantara kami sekalipun di waktu hukuman pagi dan siang. Tapi dia dengan ringan mengenggam tanganku, menuntun pergi dan menjauh dari segala kerisauan, ia yang menyerukan perhatian dalam dinginnya sikap, tanpa pamrih. Hati ini berdebar.

Dalam kekalutan indah ini, aku merasa sedikit takut dan panik sebab ia membawaku berdiri di depan ruang BK

"kamu mau lapor pak Sono?" wajahku menunjukan kepanikan

"engga, kalo kamu disini. Jeje dan temennya ga akan berani ngelabrak kamu lagi"

"kalo dia masih berani nyamperin kamu di sini, teriak aja. Nanti pak Sono juga bakal keluar bawa rotan" lantas ia tersenyum tipis, lalu pergi meninggalkanku yang termangu.

.

.

Parkiran seperti biasa telah sepi, tersisa Aku, Anis dan Laut merah. Hukuman itu rupanya belum juga berakhir, satu bulan terasa lama. ini gara-gara laut sih, kalo aja dia ga ngelawan pak Sono hem

"ya Allah litt, bannya kempes apa bocor ini?" Kami panik, pasalnya ban motor ini baru diganti 2 minggu yang lalu. Rumah kami pun jaraknya cukup jauh.

"ya dorong" celetuk Laut dengan tatapan datarnya

"ya bantuin kita dong kak Laut" Anis merayu, tapi Laut tak memperdulikan kami. ia membunyikan motornya lantas pergi dengan santai nya, aku ternganga melihatnya sebab baru saja aku terharu sebab ia mau menolongku dari jeratan jeje tapi kali ini ia dengan angkuhnya pergi. Pantas ia sedikit aneh, namanya pun aneh.

Anis bertugas mengendalikan kemudi, sedang aku mendorong dari belakang. Beruntungnya, pak satpam masih rutin memberi kami sebotol air putih, kegiatan ini cukup membuat tenggorokan terasa kering. Sialnya, bengkel dekat sekolah tutup dan dalam jarak ratusan meter kami belum menemukan bengkel lagi.

Matahari cukup menyengat, langkah kaki mulai berat, Anis tak lagi stabil mengendalikan kemudi. Kami menyerah, berhenti dibawah pohon mangga yang tak berbuah.

"gimana? menyerah?" Laut merah kini berada tepat di depan kami, senyumnya sedikit mengembang

"heh laut aneh, pergi aja kalo ga mau bantu" aku menunjukan wajah lelah sekaligus kesal, ia lantas tertawa tipis, lalu menarik tanganku untuk berdiri

"kamu pegang kemudi, aku dorong dibelakang"

"ha?"

sebenarnya dia cuma bantu Anis, aku mah tetep aja jalan. huhu malangnya nasib

Anis mengendarai motor Laut mencari bengkel, sedang aku dengannya berjuang membawa motor mencari bengkel yang tak kunjung jumpa.

"Kalau kamu begitu, bakal capek, naiklah ke motornya"

"serius?" ia mengangguk. Kondisi ini makin membuatnya berat mendorong motor, tapi aku tak mendengar keluhan. ia tampak biasa saja melakukannya.

"Kalian kayak anak kecil"

"lah, emang masih kecil"

"oh pantes maennya petak umpet"

"engga cuma petak umpet, aku juga maen kelereng, lompat tali, mancing ulat di tanah sama monopoli, masih banyak lagi sih"

"ha? mancing ulat di tanah? emang bisa?"

"loh, bisaaa. Baru tau yaa?

Kami larut dalam obrolan seputar permainan seru yang ternyata tak banyak diketahui laut. Terasa menyenangkan menceritakan serunya permainan itu.

..

Mas-mas tengah sibuk menambal ban. Aku, Anis dan Laut termenung. Lelah menyelimuti kami. Namun, ada yang tengah bergembira, duduk bercengkrama sembari menertawakan lamunan kami. Di ujung jalan, berdiri sebuah kafe kecil dengan mereka di dalamnya. Jeje dan geng sialan itu tak beralih pandangan pada kami. Aku baru menyadarinya.

"ini ulah mereka" Laut telah mengetahuinya bahkan sejak kami masih di sekolah.

"ih jahat, salah kita apa? arghh, ku samperin aja" Anis lelah dan emosi hendak beranjak, Laut menahan, sebab percuma. Melawan mereka lebih rumit dibanding soal matematika.

.

.

Kak Ryan tak hentinya mendekatiku, dan aku lelah menghindar. Jeje semakin sinis menatapku. Aku merasa dirundung olehnya, setelah kejadian ban bocor itu, bertubi-tubi kesialan menerpaku, mulai dari bangku permen karet hingga terakhir sepatu yang melayang ke atap sekolah.

Aku marah pada diriku yang tak bisa sedikitpun marah dan melawan Jeje, begitupun Anis. Belakang kelas jam istirahat aku melamun sendiri-sebenarnya menghindari Jeje. Seseorang menepuk bahuku, kulihat sosok itu. Sepertinya ia selalu datang di saat yang tepat, menghibur kekalutan hati.

"Kelasmu jauh"

"lebih jauh rumahmu, di Laut Merah"

ia tertawa kecil, mungkin pikirnya lawakanku garing. Entah bagaimana, meski sangat baru aku mengenalnya, ia terasa begitu akrab. Meski tidak banyak obrolan di antara kami, ia terasa begitu menyenangkan.

Di kelas, jeje kembali menghampiriku. Anis mematung, perasaanku tak enak.

"Lu aman ya sekarang"

.

.

to be continue..

ntar ya, belum di revisi. banyak typo kali ya maaf hihi


esempe satuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang