Bab 2: Awal Mula

0 1 0
                                    

Kecantikan bukan tolak ukur memperlakukan seseorang


Amara berbaring di kasurnya yang rapi.  Dia menatap langit-langit kamarnya yang kosong.  Tak seperti gadis lain yang di kamarnya dihiasi ornamen khas perempuan.  Amara justru lebih senang dengan kesan simple.

Lihat saja,  dinding kamar Amara yang hanya memiliki satu warna polos: biru muda. Langit kamarnya pun,  hanya di cat putih polos. Sebab,  Amara paling risi,  jika terlalu melihat banyak barang di kamarnya.  Makanya,  Amara lebih memilih kesan simple dibanding kesan aesthetic ala-ala anak perempuan sekarang.

Drtt...

Amara mendengar suara ponsel bergetar.  Namun,  bukan seperti suara ponsel miliknya. Rupanya,  suara getar tersebut berasal dari ponsel sitaan.  Ya,  ponsel yang menjadi tragedi sengketa di kantin.

"Halo." Amara terpaksa mengangkat teleponnya.

"Udah gue duga,  lo gak bakalan tega ngasih ke anak OSIS. Sekarang,  balikin Hp gue," ujar suara disebrang sana yang tak lain adalah Riko.

"Iya,  gue gak tega. Habisnya muka lu kayak anak kecil nahan BAB.  Kasihan."

"SIA--" belum umpatannya selesai dikeluarkan, Amara sudah memotongnya.

"Lo ngomong kasar,  Hp lo gak gue balikin," ancam Amara saat tau maksud kelanjutan dari ucapan Riko.

"Bawel lo,  kayak guru Indonesia aja.  Ngomong harus diatur. Yaudahlah,  pokoknya gue gak mau tau, lo harus balikin hp gue."

Amara bangkit dari tidurnya lalu menghela napas. "ENGGAK!  Lo gak bakalan meninggal,  gara-gara gak pegang hp."

"Kata siapa?  Asal lo tau,  sehari gue gak pegang hp,  gue bakal gegana. Kalau gue gegana,  gue malas makan.  Kalau gue malas makan,  gue bakal mati.  Lagian,  kasihan pacar-pacar gue gak dibalasin chatnya. Gue gak tega kalau lihat wajah cantik mereka sedih. Makanya,  LO BALIKIN HP GUE, " cerita Riko seolah menyedihkan hidupnya jika tanpa hp.

Amara rasanya ingin muntah mendengar curhatan Riko. Lebay. Ia heran kenapa yang ada di kepala Riko hanyalah cewek cantik? Dasar memang manusia cermin, selalu mandang fisik.

"Woy gimana, Amara?  Balikin hp gue," kata Riko saat tak mendengar respons apa-apa dari Amara.

Amara hanya membalas dengan deheman,  "hmm."

Riko yang tak paham maksud deheman Amara pun bingung. "Hmm apaan?  Mau jadi pengganti si Nisa? Yang jelas dong."

"Iya."

"Aaaa, oke," teriak Riko senang saat mendengar iya dari mulut Amara.  Lalu, ia menutup telponnya begitu saja.  Tanpa mengucapkan terima kasih kepada Amara.

Amara menggerutu akan tingkah Riko. "Dasar manusia cermin." Amara jadi ingat,  saat pertama kali memberi julukan itu pada Riko.

****
Hari pertama menjadi siswa SMA,  Amara tidak boleh terlambat.  Ia harus bisa menjadi contoh murid teladan.  Kakinya melangkah senang saat turun dari angkutan umum.  Kebetulan,  hari ini motornya mogok.  Jadi,  dia terpaksa naik angkutan umum.

Amara mencari-cari di mana ruangan kelas yang akan ditempatinya belajar.  Satu per satu papan kelas dibacanya hingga membuat leher Amara terasa patah karena sering mendongak.

"Kenapa,  gak nemu-nemu sih.  Di mana sebenarnya X IPS 1?" kesal Amara karena tak kunjung menemukan papan kelas X IPS 1.

Akhirnya, Amara memutuskan untuk bertanya. Siapa tahu ada yang berbaik hati mengantarkannya.

"Maaf kak,  kalau X IPS 1 di mana yah? " tanya Amara pada segerombolan siswa laki-laki yang sepertinya kakak kelas.

"Oh,  kamu murid baru yah?" Laki-laki bertanya balik kepada Amara.

Sebenarnya Amara malas menjawab pertanyaan ini.  Pertanyaan retoris,  yang tidak usah dijawab.  Mana ada siswa lama yang gak tau kelasnya kan?  Aneh.

"Iya, kak."

"Yuk kakak antarkan,  tapi minta nomor hp kamu dulu," katanya genit.

Basi. Amara sudah tebak sebelumnya,  laki-laki ini pasti akan melancarkan aksi. Lebih baik menolaknya,  dari pada diganggu seumur hidup.

"Tidak usah kak,  saya bisa sendiri," kata Amara lalu pergi secepat mungkin tak mendengarkan teriakan kakak kelasnya itu. Bodo amat dia dicap tidak sopan.

Setelah berlari cukup jauh,  Amara berhenti di sebuah kelas yang berada di ujung.  Akhirnya, dia menemukan kelasnya tersebut.  Namun,  saat memasuki kelas,  kelas sudah terlihat ramai. Masing-masing siswa sudah menempatkan tempat duduknya.  Amara jadi bingung akan duduk di mana dan dengan siapa.

"Yah,  gak ada kursinya lagi," keluh Amara saat menemukan meja yang belum diisi.  Hanya saja tak ada kursinya.

Sementara itu,  di depan kelas murid laki-laki bergiliran masuk membawa kursi dari kelas sebelah mungkin. Melihat itu, Amara berinisiatif meminta tolong.

"Maaf, boleh sekalian minta diambilkan kursi." pinta Amara sopan.

"Kursi?  Buat duduk?" Amara mengangguk.

"Ambil sendiri, gak usah MANJA," kata laki-laki itu sinis dan pergi begitu saja.
Amara mencebikkan bibirnya kesal mendengar jawaban laki-laki yang rambutnya kebanjiran minyak rambut. Padahal, dia minta baik-baik. Apa katanya manja? Cih, jika tidak ingin membantu, tak usah nyinyir segala. Hari pertama yang menyebalkan. Terpaksalah, Amara mengambil kursi sendiri.

Namun,  tak lama kemudian terdengarlah suara teriakan seorang perempuan. "EH,  aku mau minta tolong dong,  carikan kursi buat kita.  Masa iya,  kita berdiri aja.  Kasihan kaki ini,  nanti pegal," adunya dengan nada manja.

Rasanya ingin sekali Amara memukul bibir lebay itu. Menjijikan. Tapi,  tidak bagi para kaum Adam.  Ajaib,  hanya berselang beberapa detik dari si manusia tadi meminta tolong,  mereka sudah berebut mengambilkan kursi. Termasuk laki-laki tadi yang menolak membawakan Amara kursi.

Saat laki-laki tadi melewati tempat Amara berdiri, Amara sengaja menyindirnya. "Ambil sendiri,  gak usah MANJA," ucap Amara menirukan nada laki-laki tadi dan menekan kata Manja.

Laki-laki itu menengok lalu berucap, "beda lah,  dia cantik.  Lah lo?  Biasa aja."

Amara mengepalkan tangannya kesal. Dia menghafal dua nama manusia menyebalkan untuk membuat perhitungan di kemudian hari.  Pertama,  si laki-laki cermin yang kebanjiran minyak di rambut.  Kedua,  wanita lebay yang hanya bermodal wajah.

"Kita tunggu waktunya," sinis Amara.

Nona AmbisiusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang