Bab 5: Teman

0 0 0
                                    

Hari ini,  Amara membawa motor matic kesayangannya ke sekolah. Terlahir bukan dari keluarga yang berada,  membuat Amara sadar bahwa pendidikan adalah investasi masa depannya.  Makanya,  ia terlihat begitu menggebu dan serius mengikuti setiap pelajaran.

Amara menghentikan motornya saat tiba di parkiran sekolah.  Tepat di samping motornya, terdapat mobil Manda. Berbicara soal Manda, semenjak kejadian itu hubungan pertemanan mereka merenggang.  Ada rasa tak enak dalam diri Amara,  tetapi dalam hatinya dia masih kukuh merasa tak bersalah.

Amara mengusir pemikiran itu. Dia memilih bergegas menuju ke kelasnya. Saat sampai di pintu kelas,  Amara melihat ketiga temannya sedang asyik bercerita.  Mereka tertawa bahagia bahkan sampai suaranya terdengar keluar. Amara jadi ragu untuk masuk ke kelas.

Setelah melalui pertimbangan,  Amara melangkahkan kakinya memasuki kelas. Saat sampai di mejanya,  Amara jadi kikuk sendiri. Ia bingung harus berbuat apa. Apakah menyapa mereka dengan pura-pura akan kejadian kemarin?  Atau lebih baik duduk manis saja membaca buku seperti biasanya?

Saat pemikirannya berkecamuk, suara Sisil terdengar. "Mara, tumben datang jam segini? "

"Ah itu,  tadi di jalan macet. Jadi agak lama sampai ke sekolah, " jawab Amara canggung.

Tata tertawa mendengar nada canggung Amara. "Mara... Mara. Biasa aja kali. Gak usah canggung gitu. Lupain yang kemarin. Benar gak Manda? Lagian dia juga udah ada yang baru tuh."

Manda memukul lengan Tata dengan buku paket yang ada di mejanya.  "Yeh,  enak aja. Emang gue cewek apaan. Baru sehari putus,  udah gebet cowok aja."

"Ngaku aja kali? Yang kemarin ngechat pakai aku kamu siapa?  Haha." Kembali Tata meledek dan membocorkan rahasia Manda.

"Bocor banget kalian. Asem," sebal Amanda karena rahasianya dibocorkan. Itu semua gara-gara kemarin Tata tak sengaja lihat chat miliknya dengan seseorang.

Amara bingung dengan percakapan Tata dan Manda. Ternyata ada banyak informasi yang dia ketinggalan. Hanya saja,  dia sedikit lega tak melihat tatapan sinis Manda lagi.

"Eh udah,  ah. Kasihan kali si Mara bingung kalian ngomong apa."

"Jangan dengerin si Tata,  Mara. Ucapan si Tata tadi ngaco.  Btw, muka lo biasa aja.  Gue udah lupain soal kemarin."

Amara menggelengkan kepalanya. Ia segera merubah raut wajahnya. Takut Manda mengira dia menatapnya tak suka. "Bu-bukan gitu Manda. Ah,  iya maafin gue. Gak seharusnya gue ikut campur."

Manda menepuk bahu Amara seraya berkata,  "santai aja. Udah gue maafin."

"Nah,  gini kan enak lihatnya. Gak kayak kemarin sampai gue makan angin." Mereka semua tertawa mendengar ucapan Tata. Tapi,  memang benar sih. Kemarin mereka semua makan angin. Gara-gara gak jadi makan di kantin.

Amara tersenyum senang,  pertemanan mereka kembali merekat. Ah,  Amara jadi ingat bagaimana pertemuan pertama kali dengan mereka.

***
Saat pertama kali masuk SMA, Amara tidak mempunyai teman. Bahkan sampai beberapa hari ia duduk sendirian.  Semua teman-teman SMP nya lebih memilih melanjutkan ke sekolah favorit. Maklum saja, karena saat itu pun SMP mereka merupakan sekolah favorit. 

Amara lebih memilih bersekolah di sini karena faktor jarak. Sekolah yang biasa-biasa saja namun tidak buruk juga. Lagi pula,  ia sudah capek di sekolah favorit. Ah sudahlah,  jika diceritakan akan panjang.

Amara melihat teman satu kelasnya yang asik masing-masing.  Ada yang tertawa sampai terbahak,  ada yang sibuk bercerita, dan ada yang sibuk berkenalan dengan yang lain.

Sementara dirinya?  Ia hanya diam memerhatikan mereka. Dalam hatinya dia iri pada mereka. Kenapa orang-orang begitu mudah berkenalan?  Tidak adakah rasa canggung atau dianggap sok asik? Menyedihkan sekali menjadi anak introvert selalu dianggap ansos. Padahal,  dia pun sama dengan yang lain,  ingin punya teman. Tapi,  apa daya, tidak ada keberanian.

Amara mengembuskan napasnya. Dia harus berani, toh ini bukan hal yang sulit. Tinggal mengulurkan tangan dan berkenalan bukan? Pasti,  itu tidak sulit dan Amara harus mencobanya.

Amara mengulurkan tangannya hendak menepuk bahu seseorang di depannya. Mereka yang akan menjadi target pertamanya mengajak kenalan.

"Ha-". Sayangnya,  belum sampai Amara mengucapkan Hai, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Amara pun menoleh lalu menemukan seorang laki-laki.

"Sorry,  lo punya penghapus?" tanya orang tadi yang menepuk bahunya.

Tanpa basa-basi Amara memberikan penghapus miliknya. Kemudian, ia melanjutkan misi tadi. Tapi,  sayangnya laki-laki tadi justru ingin mengajaknya mengobrol.

"Lo,  dari SMP Ksatria?" tanyanya yang kemudian Amara jawab "iya".

"Saingan nih," desisnya pelan namun masih bisa didengar oleh Amara.

Amara menanyakan maksud desisan laki-laki tadi. "Maksudnya gimana yah? "

"Ah,  iya gak papa kok. Lo salah dengar kali. Tadi gue gak bilang apa-apa, " kilah laki-laki tadi tak mengakuinya.

Aneh,  Amara merasa aneh dengan laki-laki tadi. Apa maksudnya saingan?  Padahal mereka baru mengobrol, masa sudah dianggap saingan?  Ah sudahlah,  Amara tak ingin pusing.

Kembali ke misinya tadi. Amara harus berani memulai perkenalan. Berulang kali tangannya ragu untuk menepuh bahu di depannya. Namun,  akhirnya dia berhasil juga melalukannya.

"H-hai," sapa Amara canggung saat perempuan yang ditepuknya menoleh. Lalu,  Amara bingung harus berbuat apa lagi. Sesulit inikah berkenalan?

Untung saja,  perempuan di depannya bukan seperti dirinya. "Oh,  hai. Kenalin nama gue Amanda. Panggil Manda aja. Nah,  yang ini temen gue,  Arista. Panggil Tata," ucap Amanda lalu menyikut temannya agar berkenalan juga.

Amara bernafas lega,  syukurlah perempuan yang diajak berkenalan orangnya hambel. Tidak seperti yang dibayangkan. "Oh,  h-hai. Nama gu-e Amara."

Mulai saat itu,  Amara,  Amanda dan Tata berteman. Mereka saling berbagi cerita. Bukan,  lebih tepatnya hanya Tata dan Amanda. Amara hanya menjadi pendengar setia. Dia masih canggung maklumlah secara Tata dan Amanda ini sudah bersahabat lama. Sementara dirinya hanya orang baru.

Sampai suatu saat mereka bertemu dan bertemam dengan Sisil karena kejadian yang tak terduga. Mulai saat itulah mereka terkenal dengan 4 sekawan karena sering ke mana-mana bareng.

Nona AmbisiusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang