Bab 4: Rara dan Riri

0 0 0
                                    

Suara bel istirahat, selalu saja menjadi malaikat penyelamat bagi para siswa.  Di tengah otak yang sudah mengebul dan perut yang keroncongan tetapi mereka dipaksa berfikir untuk mencari jawaban matematika. Nyaris gila rasanya.

Untung saja, bel segera menyelamatkan hidup mereka. Wajah mereka yang semula pucat kini berganti senyum sumringah seolah meledek guru di depan.

"Aaakhirnya. Terima kasih siapapun yang sudah mencet bel," ucap Sisil seolah terbebas dari penjara dan baru menghirup udara bebas.

Amara menggelengkan kepalanya heran. Sisil terlalu hiperbola.  Ada-ada saja.

"Yuk, kantin.  Takut ngantri nanti," ajak Tata yang kini berdiri di hadapan Amara dan Sisil.

Sisil segera berdiri sambil menarik tangan Amara. "Yuk,  Mara.  Nulisnya dilanjut nanti lagi. Nanti bisa gak kebagian makanan."

"Tapi, ini belum selesai Sil. Gimana yah?" Amara bimbang.  Dia belum selesai mencatat semua materi,  namun perutnya juga butuh diisi.

"Itu gampang lah,  Mara.  Kita jajan dulu,  habis itu nanti lanjut nulis lagi."

"Udah sih,  kalau dia gak mau gak usah dipaksa.  Mungkin dia kenyang nyemil buku sama pulpen," kata Manda sinis.  Sepertinya,  Manda masih kesal dengan Amara tadi.

Amara terdiam, ada rasa tak enak dalam hatinya. Pikirnya,  ini pasti gara-gara kejadian tadi pagi.  Tapi,  dia tidak merasa bersalah. Toh,  yang dia bilang juga benar.

"Bawa aja nanti buku gue. Gue udah nulis kok.  Yuk,  ke kantin aja sekarang.  Takut gak kebagian," bujuk Tata dengan menawarkan bukunya.

Akhirnya karena Tata mengimingi dengan meminjam buku miliknya,  Amara pun rela meninggalkan tulisannya yang belum selesai.

Saat tiba di kantin,  benar saja kantin sudah ramai.  Maklum,  karena sekolah ini bukan sekolah mewah jadi kantin pun terbatas.  Hanya ada beberapa kios pedagang di sana.

"Coba aja tadi gak lama di kelasnya." Lagi-lagi,  Manda menyindir Amara.
Mengerti,  karena ucapan Manda yang tak enak itu ditujukan pada Amara. Tata dan Sisil tak menanggapinya.  Dari pada urusannya menjadi panjang. 

"Itu, masih bisa kok.  Nanti gue aja yang pesen. Badan gue kecil ini.  Kalian duduk aja tuh di ujung sana." Sisil menawarkan diri,  karena badannya yang kecil jadi dia bisa bebas menyelinap.  Dan jangan lupakan suara nyaring Sisil. Itu semua sangat berguna sekarang.

Mereka setuju dengan Sisil,  lalu mereka menuju ke tempat kosong yang ada di pojok. Saat duduk,  keadaan menjadi hening.  Tata yang sibuk dengan ponselnya. Begitupun dengan Manda.

"Tata, tadi tugas yang dikasih Bu Mita apa yah?  Aku belum sempat nulis, " Amara memecah keheningan.  Hanya saja,  sepertinya dia salah memilih topik. 

Tata baru saja hendak menjawab ucapan Amara.  Namun,  kalah cepat dengan Manda.

"Lo gak bisa apa,  sehari aja gak ngomongin tugas?  Tau tempat lah. Ini kantin, kalau nanya tugas nanti." Jengah Manda pada sikap Amara yang tak bisa menempatkan posisi.  Masa di kantin bahasannya tugas.

"Biasa aja kali. Gue cuma nanya dan itu pun bukan sama lo." Kali ini,  Amara tidak bisa diam saja mendengar nada sinis Manda.  Sedari tadi,  dia sudah cukup menahan sabar menghadapinya.

"Tapi,  lo mengganggu gue. Masih banyak waktu,  buat nanya tugas. Bukan sekarang juga kali."

"Gue cuma nanya dan itu mengaganggu? Mengganggu di bagian mananya?  Alasan yang gak logis. Bilang aja lo kesel sama ucapan gue tadi pagi." Amara membeberkan alasan tak mendasar Manda marah-marah tak jelas.

Sebelum perdebatan makin panjang,  Tata segera menghentikannya. "Udah, stop.  Kita di sini mau makan.  Bukan berantem," lerai Tata.  Namun,  bukannya diam. Manda dan Amara masih saja sibuk berdebat.

"Dia yang mulai duluan,  Ta." tuding Manda.

Tak terima dirinya dituding,  Amara membalas balik tudingan Manda. "Bukannya lo yang sinis duluan ke gue?  Gue cuma nanya.  Catat NANYA dan itu bukan sama LO."

Tata menggebrak meja kesal.  Perutnya sudah keroncongan tetapi dua temannya ini malah berdeba.

"Makan tuh,  berantem.  Gue malas," kata Tata memilih meninggalkan mereka.

Melihat Tata yang pergi,  Manda pun ikut pergi.  Ia enggan hanya berdua saja dengan Amara. Tinggal lah Amara sendiri di meja kini.

Amara yang tak tau,  harus ngapain,  dia memilih masuk ke kelas.  Lupakan soal makanan dan perut keroncongan.  Moodnya sudah anjlok gara-gara Manda. Belum lagi,  tadi dia merasa tak enak dengan Tata.

Saat memasuki kelas,  Amara tak menemukan Tata maupun Manda dan Sisil. Entah ketiganya pergi ke mana.  Ia tidak peduli.  Lebih baik melanjutkan menulis.

"Rara." Panggil seseorang yang entah ditujukan pada siapa.  Amara bingung,  di kelas ini hanya ada dirinya saja.

"Rara." Sekali lagi,  panggilan itu mengganggu konsentrasinya menulis.  Ia mendongakkan kepalanya mencari siapa yang terus memanggil.

Rupanya,  dia lagi.  Iya,  dia si manusia dengan dasi miring.  Yang seharian tadi,  mengganggu Amara.

"Nyari siapa lo?  Berisik banget!" dumel Amara pada seseorang yang berdiri di depan pintu kelas.

Seseorang itu berjalan menuju meja Amara lalu mengambil satu kursi. "Gue panggil dari tadi.  Kebiasaaan banget,  gak nyaut."

"Manggil gue?" tanya Amara menunjuk dirinya.

"Iyalah. Masa panggil Pak Bambang," jawab Rival santai.  Perlu diketahui,  Pak Bambang adalah kepala sekolah di sini. Tidak mungkin bukan,  baru sehari Rival sudah menghafal semua guru di sini?

"Sependengeran gue,  Lo manggil Rara tadi."

"Nama lo siapa? Amara kan?  Iya bener,  gue panggil Rara."

"Enak aja.  Nama gue udah bagus,  lo main ganti aja. Apaan Rara kayak nama bocah tau."

"Mending Rara dari pada Marah."

"Gak,  panggil Amara.  Bukan Rara.  Apalagi Marah," ucap Amara dengan melayangkan pulpen yang dipegangnya ke hadapan Rival.

Rival menjauhkan pulpen itu. "Rara. Titik gue panggil Rara," putus Rival.

Amara menatap tajam Rival yang tengah meledeknya. "Kalau lo,  panggil Rara. Gue panggil lo Riri."

Bukannya marah,  justru Rival tertawa geli mendengar panggilan baru untuknya. "Rara dan Riri. Manis sekali panggilannya kakak. Hahaha."

Mulai saat itu,  panggilan keduanya berubah.  Rara dan Riri,  seperti nama anak kembar. Namun,  kelakuannya berbanding terbalik. Seperti tom and jerry.

Nona AmbisiusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang