Bab 3: Murid Baru

0 1 0
                                    

Namanya Rival,  semoga tidak menjadi lawan beneran


Nongkrong menjadi hobi favorit di kalangan siswa sebelum guru masuk kelas. Apalagi kalau nongkrongnya di warung, dengan ditemani secangkir teh dan gorengan. Lengkap sudah kenikmatan di pagi hari.

Jika, laki-laki memilih nongkrong. Beda halnya dengan perempuan.  Mereka akan memilih bergerombol dengan gengnya masing-masing di kelas sambil bertukar informasi berita alias gosip. Mulai dari sinetron yang lagi top sampai masalah percintaan yang tak kunjung menemui jalan keluar.

Sayangnya,  hal itu tidak berlaku bagi Amara.  Dia lebih memilih berkencan dengan ratusan lembar kertas. Alias buku. 

"Mara,  baca apa sih? Dari tadi sibuk sendiri," tegur teman Amara karena sedari tadi dia melihat Amara tidak mendengarkan obrolan.

Amara hanya mengacungkan bukunya sebagai jawaban.  Seperti biasa, jika sudah hanyut dalam bacaan,  dia malas untuk berbicara. 

"Baca buku bisa nanti kali,  Mara.  Sini,  kita ngobrol dulu," bujuk teman Amara agar Amara tidak sibuk sendirian.

Amara menggelengkan kepalanya enggan.  Dia tak berminat untuk ikut  hanyut dalam obrolan.

Malas membujuk Amara, teman-teman Amara pun memilih melanjutkan obrolan yang tadi sempat tertunda.  Dan yang menjadi topik kali ini adalah putus.

"Emang kamu kenapa bisa putus? Bukannya baru jadian beberapa minggu lalu?" tanya Sisil yang penasaran akan kisah percintaan Manda.

Manda menaikkan bahunya. "Dia berubah.  Pas pdkt aja, baiknya minta ampun. Eh sekarang, minta anterin ke mall aja gak mau."

"Jangan-jangan dia selingkuh lagi?" ujar Tata memberikan analisisnya.

"Enak aja,  gak mungkin lah.  Mana ada baru sebulan jadian,  udah selingkuh," sembur Manda tak terima.
"Bisa jadi.  Siklus laki-laki emang begitu. Di masa puber seperti ini,  mereka itu penasaran. Dan ya,  bisa jadi kamu hanya jadi bahan penasarannya saja, " kata Amara yang tiba-tiba menimpali sanggahan Manda.

Semuanya kaget mendengar Amara berbicara. Terlebih lagi Manda. Dia merasa sakit hati dengan ucapan Amara.  

"Jadi,  maksud lo gue jadi kelinci percobaan doang?"

Amara menganggukkan kepala, "Iya,  bener banget.  Usia-usia segini tuh mana ada sih laki-laki yang serius. Ucapan mereka semua itu bohong. Mereka cuma penasaran aja.  Gak lebih. Makanya,  gak ada gunanya pacaran." jelas Amara gamblang.

Mendengar balas Amara,  Manda semakin tersulut. "Terus yang dimaksud BERGUNA itu belajar dan mengabaikan orang sekitar gitu?" Sengaja Manda menekan kata berguna agar Amara merasa tersindir.
Amara tersentak dengan ucapan Manda. Terlebih lagi dengan penekanan kata berguna. "Maksud lo?  Lo nyindir gue?"

"Merasa kesindir?  Oh syukur deh berarti masih peka," kata Manda masih dengan nada menyindir. Dia kesal dengan ucapan Amara.

"Mak-" ucapan Amara terhenti ketika guru datang.

"Selamat pagi,  anak-anak. Pagi ini,  kita kedatangan murid baru.  Silakan, perkenalkan diri kamu terlebih dahulu."

Seorang siswa laki-laki masuk ke dalam kelas dengan penampilan yang berantakan. Dasi miring,  celana pensil,  baju sebelah dikeluarkan,  sebelahnya lagi dimasukkan. Sontak saja, hal itu langsung membuat mata Amara memicing tidak suka.

"Yo,  perkenalkan nama gue rival.  Panggil aja Val pake V ya,  bukan pake p. Panggil riv juga boleh.  Terserah deh pokoknya. Yang penting jangan panggil Riri," ucap Rival memperkenalkan diri dengan santainya.  Dengan mulut masih memakan permen karet.

Satu lagi,  tambahan point minus bagi Rival di mata Amara,  tidak sopan.

"Ganteng banget.  Tipe-tipe badboy di wattpad," bisik  Sisil kepada Amara.

Amara menoleh,  "biasa aja," ujarnya.

Mendengar ucapan Amara lantas membuat Sisil mencebikkan bibirnya kesal. Rupanya, Sisil salah memilih teman bicara.

Setelah perkenalan, Rival berjalan ke arah meja kosong yang kebetulan tepat di samping Amara.

"Kursi ini kosong?" tanya Rival pada Amara. Namun,  Amara tak menjawabnya.  Ia heran,  kenapa orang-orang selalu melancarkan pertanyaan-pertanyaan bodoh?

"Hey gue nanya bener, gak dijawab," ujar Rival dengan menyentuh bahu Amara.

Amara memicing tak suka,  menatap tajam Rival yang berani menyentuh bahunya.

"Lo,  gak lihat itu kursi kosong?  Pertanyaan bodoh."

Rivak kaget mendengar tanggapan Amara. Ia rasa tak ada yang salah dengan pertanyaannya.  Memang luar biasa perempuan di hadapannya.  Sekalinya mengeluarkan suara,  begitu pedas didengar.

Baiklah,  sepertinya Rival tidak perlu meladeninya.  Ini hari pertama masuk sekolah dan ia enggan mengeluarkan energinya banyak. 

***
Saat,  guru hendak memulai pembelajaran,  Rival kelabakan.  Dia lupa membawa pulpen. Tidak,  bukan lupa memang.  Dia terbiasa tak membawanya.

"Ssttt... Cewek.  Boleh pinjam pulpen?" tanya Rival pada Amara.  Namun,  lagi-lagi ia tak digubris oleh Amara yang tengah fokus menyimak pelajaran.

"Mara,  itu si Rival pinjam pulpen." Sisil berbisik memberitahu Amara.

Tanpa menjawab bisikan Sisil,  Amara segera memberikan pulpennya pada Rival.

"Maka-" Rival tak melanjutkan ucapannya saat kepala Amara sudah kembali fokus melihat papan tulis. Alhasil,  Rival tak jadi mengucapkan terima kasih.

Beberapa menit kemudian,  Rival kembali membutuhkan bantuan Amara.  Kali ini,  butuh tip-ex untuk menghapus tulisannya.  Bukan tulisan yang sama dengan di papan tulis melainkan tulisan di doodle art buatannya. Dia kembali memanggil Amara dengan sebutan cewek karena tidak tau namanya.

"Kenapa lagi sih?" kata Amara kesal karena terus mendengar suitan laki-laki di sampingnya.

"Santai,  gue cuma pinjam tip-ex."

"Lo mau sekolah atau ngamen?  Gak ada pulpen,  gak ada tip-ex sekalian aja gak ada otak," ucap Amara pedas.
Untung saja,  Rival bukan orang yang serius.  Dia menanggapi ucapan Amara sebagai bahan bercanda.

"Hahaha.  Bisa jadi,  otak gue kan ada di kantin.  Suka dimakan sama anak cewek."

Amara enggan menanggapi ucapan Rival. Dia lebih memilih memberikan tip-exnya. Lebih cepat diberikan itu lebih baik. "Ini yang terakhir. Jangan panggil-panggil gue lagi.  Ganggu!  Berisik. " Amara memberikan ultimatum kepada Rival.

Sayangnya, 5 menit kemudian hal yang tak diingankan Amara kembali terulang.  Manusia di sampingnya ini kembali memanggilnya.

"Ada penggaris enggak? "

Tangan Amara mengepal.  Kenapa baru beberapa jam kenal,  tapi laki-laki ini sudah membuatnya kesal?

"Buat apa lo?  Ini bukan matematika,  gak usah pake penggaris segala." Amara mempertanyakan
maksud peminjaman penggaris.

"Kepo," jawab Rival singkat dengan nada meledek.

Amara mencebik kesal mendengar ucapan Rival. Sepertinya,  nama laki-laki di sampingnya ini sejalan dengan artinya yaitu lawan.

Sebab kesal, Amara memberikan kotak pensilnya pada Rival agar dia tak lagi menganggunya. Sudah cukup waktunya terbuang percuma.

Awalnya Rival bingung dengan maksud Amara memberikan kotak pensil miliknya. Tapi,  setelah dipikir-pikir mungkin sedari tadi dia mengganggu perempuan di sampingnya itu. Alhasil,  dia memberikan kotak pensilnya agar tidak diganggu. 

"Amara," ucap Rival saat membaca deretan huruf di dalam kotak pensil tadi.  Sekarang Rival tau,  perempuan itu bernama Amara. Pantas saja dia senang marah-marah.

"Amara dan Amarah perpaduan yang serasi," batin Rival.

Nona AmbisiusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang