Antagonis 1
Seringkali aku berpikir, apakah tokoh jahat tidak berhak mendapatkan kesempatan kedua? Taruhlah tidak harus dijadikan pusat perhatian atau diberikan limpahan kepedulian sedemikian rupa oleh orang-orang seperti sang tokoh baik, tapi tidak pantaskah ia hidup damai? Bukankah tokoh jahat juga manusia?
Contohnya Rivaldo. Tidak bisakah bosku itu membiarkanku bisa hidup damai dengan menikmati pekerjaan di perusahaan ini? Aku tahu mungkin dia sebelumnya mengenalku sebagai tokoh jahat dalam hidup sahabat adiknya, temanku juga pernah mengusik adiknya di kampus, tapi come on, apa urusan pria itu denganku? Kenapa dia terlihat sebegitu bencinya kepadaku?
"Revisi semua ini sekarang!" Pria galak yang sayangnya tampan itu menunjuk setumpuk berkas yang baru saja dia lempar ke atas meja. Bahkan hingga ada beberapa yang terjatuh di lantai.
Sabar, Gin, sabar.
Dalam diam, aku mengambil berkas yang tergeletak mengenaskan di lantai dan menumpuknya dengan yang ada di meja. Kuperiksa isinya satu per satu sebelum menghela napas. Kutatap pria yang kini duduk dengan satu kaki bertumpu di atas kaki lainnya dengan gaya angkuh itu.
"Ini bukan pekerjaan saya, Pak." Aku berucap dengan berani. Toh, buat apa takut? Aku menunjuk satu berkas yang tadi tidak ikut dia lempar. "Punya saya yang ini."
Dia terdiam, sebelum menaikkan sebelah alis. "Maksud saya yang ini juga!"
Aku mengambil laporan yang semalan membuatku begadang itu, dengan tenang. "Revisi apa yang Bapak mau?"
"Typo!" Dia berkata dengan tidak santainya. "Typo kamu itu menjamur. Bikin mata saya sakit." Ekspresinya berubah mencemooh. "Mana yang katanya cum laude? Yang katanya jenius dan jauh lebih pintar dari Icha? Cuma segini?"
Sabar, Gina, lo cuma perlu diam.
"Maaf, Pak. Akan segera saya revisi." Aku memisahkan berkasku dari yang lain. "Dan yang lainnya bukan tanggung—"
"Tanggung jawab kamu!" Dia memotong dengan seenak jidat. "Kamu yang harus kerjakan semua itu dan harus selesai hari ini juga."
Tenang, Regina. Lo udah lama nggak mengumpat. Dan jangan korbankan keberhasilan terapi lo cuma karena manusia yang katanya bagian dari protagonis ini. Lo harus tetap tenang!
Tapi aku bukan gadis lemah yang akan diam jika diperlakukan tidak adil. "Saya tidak mau mengerjakan tugas yang dari awal bukan—"
"Kalau begitu saya tunggu surat resign kamu secepatnya." Senyum miringnya membuat dadaku terbakar. "Beserta kompensasi sesuai jumlah yang tertera di kontrak kerja. Paham, Dear?"
Kerlingan jail sekaligus liciknya membuatku terpaku. Untuk sesaat kami bertatapan. Perlahan satu tanganku terkepal sementara bibirku menipis.
"Baik, Pak." Aku mengambil tumpukan berkas dan menahan pikiran antagonisku untuk melempar cangkir kopi yang isinya masih penuh ke arah wajah tampan itu. "Akan saya kerjakan hari ini. Permisi."
Tanpa banyak bicara lagi aku membalikkan badan dan melangkah menuju pintu. Namun baru saja menyentuh kenop, suaranya kembali terdengar. Itu membuatku menoleh. Dia tersenyum begitu manis—jenis senyum yang mampu membuat seluruh karyawan perusahaan ini menahan jeritan.
"Thank you very much, Regina Sarasita."
Seandainya dia mengatakannya dengan tulus, maka mungkin saja hatiku yang telah lama kosong dan kering kerontang ini akan tertarik untuk berbunga-bunga. Namun tidak. Karena kini wajahku makin mendatar.
"Ur welcome, Pak Rivaldo."
Aku butuh pil penenang!
***
Gimana sama pembukaan?
Magelang, 25 Januari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis (Short Story)
Historia Corta#Spin off It's Me; A Piece of You Sebagai antagonis, Gina pernah melakukan berbagai kejahatan yang membuat sang protagonis menderita. Namun setelah masa-masa kelam itu berlalu, apakah ia tak berhak mendapatkan kesempatan kedua? Kenapa ia seolah tak...