Antagonis 3

666 216 25
                                    

Siapa yang nungguin nih? 🤭

Antagonis 3

"Lo tahu Gina?"

"Gina? Yang divisi keuangan itu?"

"Oh, Regina Sarasita? Cewek yang mukanya lempeng nggak pernah senyum itu, kan?"

"Yup, cewek judes itu!"

"Kenapa, tuh?"

"Katanya kan dia ada affair sama Pak Aldo."

"What? Seriously?!"

"Masa, sih? Kalau gue lihat, Pak Aldo malah sukanya nyusahin dia, kan? Kerjaan yang bukan punya orang lain aja dikasih ke Gina."

"Tapi justru itu letak affair-nya. Pak Aldo gituin Gina karena caper. Gina-nya aja yang sok jual mahal."

"Lagian ngapain coba Pak Aldo caper sama cewek judes gitu?"

"Halah palingan jual mahal doang. Entaran juga bakal ditangkap. Ikan kakap, cuy! Lagian kata tetangga gue yang dulu sekampus sama Gina, itu cewek pernah dikabarin tidur sama pacar sepupunya. Pelakor, guys, jijik banget nggak, sih?"

"Seriously?! Pantes sekarang kelihatan lonely-nya. Mana ada sih yang mau deket-deket antagonis?"

Dari balik belokan koridor, aku meniup poni kuat-kuat. Tiga perempuan yang bahkan tak kukenal itu masih saja tertawa-tawa membicarakan keantagonisanku. Tersinggung? Entahlah. Aku justru merasa geli menemukan para manusia sok tahu yang paling merasa paling suci seperti mereka. Apa katanya tadi? Affair? Caper? Hahaha.

Dan karena aku bukan protagonis yang lemah dan butuh pembelaan, maka tidak ada gunanya bersembunyi. Dengan dagu terangkat, aku keluar dan berjalan mendekati mereka. Yang tentu langsung membuat ketiganya berhenti tertawa, seperti dugaanku.

"Eh Gina?" Salah satu dari mereka menyapa dan tersenyum gugup.

Aku hanya memberi lirikan datar, sebelum kembali melangkah. Setidaknya aku sudah bukan gadis dua puluh dua tahun yang meledak-ledak dan gampang melabrak. Hal seperti itu hanya membuang tenaga, toh pemikiran orang-orang tidak akan berubah.

"Regina."

Baru beberapa langkah, kini aku dihadang oleh seseorang yang menjadi momok dalam hari-hariku. Siapa lagi kalau bukan Rivaldo?

"Ya?" Aku menatap wajahnya yang berekspresi datar.

"Kamu dengar obrolan mereka?"

Mataku mengerjap, sebelum kukedikkan bahu dengan santai. "Saya punya telinga."

"Kamu percaya soal saya yang-"

"Tidak." Aku memotong dengan lugas, membuat bibirnya terkatup rapat. "Bapak nggak perlu khawatir. Itu hanya gosip."

Tatapannya lurus menghujam mataku. Sekilas aku menangkap bibirnya yang menipis. "Regina,"

"Lagian," aku membasahi bibir yang terasa kering dan pahit. "mana sudi seorang protagonis seperti Bapak tertarik, apalagi caper sama antagonis menjijikkan macam saya?" Aku tersenyum miring. "Itu malah kedengaran kayak jokes garing, right?"

Rivaldo masih diam. Aku yang tak merasa perlu berbicara lagi, mengucapkan 'permisi' dan berlalu begitu saja. Sementara Rivaldo setelahnya terdengar memanggil nama tiga perempuan, yang aku yakin tiga penggosip tadi. Namun aku tak peduli. Bukan urusanku.

Sesampainya di meja kerja, aku dikejutkan oleh sebuah brunch box tergeletak di sebelah komputer. Ada selembar post it yang tertempel di atas tutupnya.

Makan semuanya dan jangan sampai ada yang sisa.

From -R

Membacanya, pikiranku langsung tertuju kepada Reno. Karena sejak kami berdamai dan berteman setelah melupakan masa lalu, dia beberapa kali mengirimkan makan siang tanpa memberitahu lebih dulu.

Salah satu sudut bibirku terangkat ketika membuka box itu dan menemukan croissant, waffle, beberapa butir anggur dan stroberi, lengkap dengan sebotol sari lemon tertata rapi di dalamnya. Tanpa menunggu lama, aku memakannya satu per satu. Meski setiap suapan membuat ulu hatiku nyeri. Gina yang sekarang berumur dua puluh tujuh tahun ini, pasti terlihat begitu menyedihkan di mata Reno. Dia melakukan semua kebaikan ini karena merasa iba terhadapku, yang seperti kata salah satu dari tiga perempuan tadi, aku begitu lonely.

Aku memang tidak punya teman sekarang. Tepatnya sejak lima tahun lalu. Dulu aku punya geng, tapi mereka meninggalkan setelah aku memperingati mereka untuk tidak menyebarkan rumor buruk tentang Zeva, adik Rivaldo. Ya, mereka pergi karena aku mulai berdamai dengan Zeva. Seperti halnya Mama yang juga menghilang setelah aku memutuskan berdamai dengan Icha dan keluarganya.

Segala bentuk timbal balik hubungan di dunia ini memang mengerikan. Karena itu lebih baik aku seperti ini saja. Menjalani hidup sendiri dan berinteraksi seperlunya.

Selesai makan dan menghabiskan semua tanpa sisa, aku mengambil ponsel dan mengirimkan pesan kepada Reno.

Regina

Thanks for the brunch. Gue habisin tanpa sisa. Puas?

Tak perlu menunggu waktu lama untuk mendapat balasan. Namun aku tercenung ketika membacanya.

Reno

Good girl. Btw seblaknya kepedesan gak?

Huh? Seblak? Apa Reno amnesia?

***

Hayo loh wkwk

Magelang, 31 Januari 2022

Antagonis (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang