Chapter 03

167 34 25
                                    

Tekadnya bulat untuk melompat. Sepertinya, aliran sungai yang deras siap menangkap dan menenggelamkannya malam ini. Bila perlu, dirinya hanyut yang jauh dan ditemukan di tempat yang jauh dari sini.

Kaki jenjang Silvanna mulai meninggalkan permukaan pembatas jembatan. Matanya terpejam. Jantungnya sudah bersiap untuk melayang. Pikirannya mulai bebas, hatinya mengucapkan salam perpisahan untuk dunia.

Namun harapan Silvanna tak terkabul malam ini. Bukan aliran sungai yang menangkapnya, melainkan dekapan seseorang yang berhasil membawanya turun dari pembatas jembatan. Seseorang dengan tenaga yang lumayan besar, mampu mengangkat tubuh Silvanna lalu mengamankannya hingga keduanya tersungkur ke jembatan.

Silvanna terengah, keringatnya merembes ke seluruh bagian wajah pucatnya. Ia masih belum membuka mata. Mungkin ia menunggu rasa sakit kala menghantam bebatuan dasar sungai yang bisa mengirimnya ke dunia lain.

Bukan rasa sakit yang ia terima, melainkan ada rasa hangat di sekujur tubuhnya. Rasa hangat yang mirip sebuah pelukan untuknya.

"Apa yang kau lakukan, Nona?" tanya suara bass dengan lembut.

Silvanna membuka mata, menemukan sesosok pria bertudung ungu yang tengah menopang tubuhnya. Kali ini ia menyadari. Ia tidak di dasar sungai, melainkan di sisi jembatan.

Gadis itu bangkit untuk menghardik seseorang itu.

"Kenapa kau menyelamatkan aku? Harusnya kau biarkan saja aku mati malam ini!" jerit Silvanna. Bahkan saking sepinya tempat ini suaranya bergema di berbagai arah. Selain pria ini, hanya bulan purnama yang mungkin mendengarkan jeritannya.

"Mati tidak akan membuatmu tenang, Nona. Pikirkan dirimu dan orang-orang yang menyayangimu!" balas pria itu membuat tangis Silvanna pecah saat itu juga.

"Nggak ada yang memikirkanku! Lalu, apa lagi alasan aku untuk hidup?"

"Kalau begitu, pikirkan dirimu!" balas pria itu lagi. "Mati tidak akan membuatmu bahagia, Nona."

Silvanna terisak, ia bersandar ke pembatas jembatan lalu memeluk lututnya sendiri. "Aku capek!" keluhnya di tengah isakannya. "Aku mau semuanya berakhir, benar-benar berakhir."

Pria berjaket ungu itu menghampiri Silvanna. Dibukanya jaket itu untuk menutupi tubuh Silvanna yang hanya dibalut piyama tipis. Pantas saja, sekujur kulit tubuh gadis ini sangat pucat. Mungkin karena kedinginan atau semacamnya. Apalagi di jam hampir pagi seperti ini.

Isakan gadis itu menghalus setelah jaket ungu itu hinggap di tubuhnya. Ia mendongak, mata sembabnya memburu pandangan pemuda berparas tegas itu.

"Tenangkan dirimu, Nona. Lebih baik kau kembali ke rumah sebelum pagi," pinta pria itu.

Silvanna menggeleng cepat. "Aku nggak mau pulang."

"Kau mau menunggu di sini sampai terang?"

Silvanna diam saja. Malah ia menggenggam ujung-ujung jaket itu dengan erat. "Aku cuma mau menenangkan diri," jawabnya kemudian.

"Baiklah, apa yang bisa membuatmu tenang?" tanya pria itu penuh perhatian.

"Mungkin jika kau membiarkan aku terjun bebas tadi."

Pria itu tampak tersenyum miring. "Mungkin kamu akan tenang, tapi hanya sesaat. Kehidupan setelah kematian lebih panjang dari perjalanan hidupmu hingga saat ini."

"Apa maksudmu?" tanya Silvanna bingung. "Sepertinya kamu tahu betul soal kematian?"

Kembali pria itu tersenyum, membalikkan posisi duduknya agar berhadapan dengan gadis itu. "Aku cuma sering baca di cerita-cerita fantasi."

The Devil's WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang