1 Tak Biasa

9 0 0
                                    

BaB 1

Pembantu Tajir

21++
===========

BAB 1 Tak Biasa

“Mir, siapkan bajuku!” perintah Angga, anak Pak Fredy—majikanku.

“Baju yang kayak apa, Mas,” tanyaku kurang paham. Memang aslinya aku tidak paham. Jangankan baju kantor, daster saja aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya kaos oblong dan celana jeans.

“Astaga! Kamu bisa kerja nggak, sih! Sono tanya sama Mbok Yem!” suruh Angga dengan nada kesal.
Aku menghampiri Mbok Iyem yang sedang memetik sayuran di dapur.

“Mbok, maaf, itu Mas Angga minta diambilin jas dan hem, aku nggak paham yang seperti apa,” keluhku pada wanita setengah baya yang saat ini kerja bersamaku. Ia memandangku heran.

Mbok Iyem bangun dari duduknya dan menuju ke kamar Angga yang letaknya berdekatan dengan kamar utama dan aku mengikutinya dari belakang.

Ya Allah, baru dua hari kerja rasanya seperti ini, capek, pegel, pingin nanggis. Papi, Mami aku kangen rumah ….
Mbok Iyem membuka lemari Angga dan mengambil satu stel jas beserta hem dan dasi.

“Neng Amir, eh Amira sini Mbok kasih tahu letak baju-bajunya Mas Angga. Di sini khusus jas dan dasi yang menggunakan hanger. Sebelahnya khusus untuk hem serta baju resmi lainnya dan itu khusus kaos dan baju santai. Untuk pakaian dalam ada di sebelah bawah,” ucap Mbok Iyem sembari menunjukkan letak-letaknya.

“Iya, Mbok. Eh, mbok, apakah Mas Angga selalu seperti ini?” tanyaku sembari kuanggukkan kepala yang padahal masih belum mudeng.
Bagaimana aku bisa paham, ketika di rumah aku tidak pernah mengatur pakaian, bahkan pakaian dalampun masih diambilkan oleh Mbok Tinah—Asisten rumah tangga kami. Kali ini benar-benar berbanding terbalik dengan keadaanku saat di rumah.

“Diantara keluarga ini, dia yang paling bawel. Apa-apa harus disediakan, bahkan kalau nggak punya malu, mungkin makanpun maunya disuapin,” jelas Mbok Iyem.

Setelah itu, Mbok Iyem kembali ke dapur sedangkan aku masih mempelajari letak pakaian Angga—lelaki bawel anak majikan.

“Woi, mana jasku, bawa sini!” pekik Angga yang baru saja keluar dari kamar mandi dan masih berbalut handuk.
Aku yang saat itu masih mempelajari letak pakaian Angga, kaget mendengar panggilannya. Ya Allah galak amat.

“Eh, itu, Mas,” jawabku sembari menunjuk jas yang tadi diambilkan Simbok. “Saya pamit keluar dulu ya, Mas, sebab ada porno aksi.”
Aku langsung keluar dari kamar Angga dan menuju ke dapur menemui Mbok Iyem. Aku duduk di lantai sambil merenung.

Mami, Papi, aku ingin pulang. Aku nggak betah. Aku tak kuasa menahan air mata. Di rumah, aku dilayani, di sini aku harus melayani.

“Mir, kenapa nangis?” tanya Mbok Iyem. Kuseka air mataku menggunakan baju yang kupakai.
“Capek, Mbok,” jawabku.
“Lha kamu kenapa daftar jadi babu, sih. Kamu itu masih muda, energik, mending kerja di pabrik apa jadi pelayan toko. Kerjaan kayak gini nggak cocok,” ujar Mbok Iyem.
Aku masih terisak.

“Sudah, jalani saja dulu, nanti lama-lama juga terbiasa. Sekarang siapin sarapan, bentar lagi Pak Fredy, Bu Sarah, Mas Angga dan Mas Ari keluar untuk sarapan.”
Duh, aku belum pernah nyiapin sarapan seperti ini, gimana ini.

“Mbok, aku nggak bisa nyiapin sarapan,” ucapku panik. “Aku belum pernah memasak apalagi menyajikan menu di meja makan.”
Aku semakin panik.
“Tadi nyiapin baju nggak bisa, ini menyajikan menu sarapan di meja nggak bisa, masak juga nggak bisa, lalu apa yang kamu bisa?” cecar Mbok Iyem padaku. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena memang kenyataannya seperti itu.

Pembantu TajirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang