2

2 0 0
                                    

Pembantu Tajir
Part 2

“Astaga! Aduh, pusing,” pekikku. Baju yang ada di lemari berantakan semua gara- gara tadi nyari jas-nya Angga.
kubereskan satu per satu baju yang ada di lemari Angga dengan modal video youtube. Cara melipat baju.
.
.
.
Malam hari.
Aku duduk di sudut kamar. Kuedarkan pandanganku ke setiap sisi ruangan. Kamar dengan ukuran 3x2 sangat tidak layak bagiku. Aku yang terbiasa dengan kamar lebar fasilitas mewah, apa-apa tinggal bilang. Namun kali ini sungguh membuatku gila.

Setahun, ya, aku harus di sini setahun untuk belajar kehidupan. Belajar menjadi orang susah, begitu kata Papi.
Ini baru dua hari rasanya sudah seperti ini. Capek, badan pegel, dimarah-marahi oleh bos. Tak bisa aku bayangkan jika harus setahun.
Mami, aku kangen rumah … .

“Amir!” teriak Angga. Aslinya namaku Amira Hilda, tapi entah kenapa Angga memanggilku Amir, mungkin karena penampilanku yang tomboi. Kaos oblong dan celana jeans itulah pakaian favoritku.

“Amiiir!” teriak Angga lagi. Aku langsung bangkit dan setengah berlari keluar kamar menuju sumber suara. Astaga, bakal marah-marah lagi ni orang. Gak tahukah kalau aku capek. Ada apa malam-malam begini memanggil.
Kulihat Angga duduk di ruang makan.

“Iya, mas, ada apa? Sudah malam kok manggil-manggil, saya capek,” rutukku sambil manyun.

“Amir, aku laper, bikinin mie instan!” perintahnya sembari mengotak-atik laptop.
“Kan ada Mbok Yem, Mas,” ucapku mengelak.
Angga berdiri dan memelototiku.

“Kamu nggak kasihan sama simbok? Ini jam berapa? Sudah jam setengah sepuluh, lho, Simbok biar istirahat,” ucapnya sembari menunjuk jam tangannya.

“Lah itu tahu, saya juga capek, Mas. Saya pingin tidur, seharian saya kerja.”
Di saat Angga memarahiku, Ari muncul dan mengambil buah di kulkas. Melihat Angga memarahiku, dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Ngga, sudah, jangan dimarahin melulu nanti kabur kayak yang kemarin,” tutur Ari.
Syukurlah ketolong. Wah, berarti Angga memang begitu orangnya, galak dan bawel.

“Susah, lho, cari pembantu,” lanjut Ari. Setelah itu masuk ke kamarnya lagi.
Mendengar ucapan Ari, Angga bergeming.

“Sudah cepet sono!” perintah Angga.
Duh, gimana ini, jangankan bikin mie, ngerebus air saja bisa dihitung dengan jari. Biasanya tinggal makan. Cuma tinggal nyuruh Mbok Tinah, minta bikinin, lalu makan, lha hari ini berbalik. Aku yang disuruh bikin.

Naruh pancinya saja aku tidak tahu, kalau bikin mie, airnya seberapa aku juga tidak tahu. Mau bangunin Mbok Iyem, tidak enak.
Owh, iya, lihat di youtube saja.

Kukeluarkan ponselku, lalu ku ketik “Cara membuat mie instan,” ugh, banyak sekali, aku klik yang ini saja.
Akhirnya kuikuti langkah-langkah membuat mie instan.

“Astaghfirullahal’adziim, Mir, sebenarnya kamu niat apa enggak, sih, masak mie instan saja nggak bisa.”
Aku dikagetkan oleh suara dibelakangku. Ternyata Angga, asem tenan.

“Bikin mie instan saja lihat di youtube, bener-bener kebangetan kamu, ya. Lihat nih, dibalik kemasan bungkus mie ini, ada tata caranya.”

Mendengar keributan di dapur, Mbok Yem, Pak Fredy dan Bu Sarah keluar dari kamarnya. Mereka melihat kami di dapur yang sedang beradu mulut.
Duuh, bodoh sekali aku ini, ternyata disebalik bungkus mie instan, ada tata caranya, Mami ….

“Ada apa malam-malam ribut di dapur,” tanya Bu Sarah, wanita yang meski usianya lima puluhan, tetapi masih terlihat cantik.
Aku serba salah, kacau, bisa-bisa aku di pecat. Tidak … .

“E …, I … ini, Bu, Mas Angga memintaku bikin mie instan,” jawabku serba salah.

“Ma, ngapain sih Mama nerima orang ini? Nggak bisa kerja, masak bikin mie instan saja lihat di youtube.”

Pembantu TajirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang