Dia dengan Hal yang Menyebalkan

9 4 9
                                    

Dia memejamkan matanya setelah menghela napas berkali-kali.
Mencoba menelan pahit-pahit keadaan yang masih menghantuinya.

Dua minggu benar-benar belum cukup untuk masa berkabungnya.
Rasanya ia masih ingin menangis tersedu seperti hari-harinya kemarin.

Sosok Mamah yang menyiapkan sarapan sambil tersenyum lebar masih saja terbayang jelas di kepalanya.
Suara Mamah yang membangunkannya di pagi hari juga seakan masih memenuhi telinganya.
Aroma wanita yang sangat ia cintai itu masih begitu menyeruak di setiap sisi rumah ini.

Padahal ia ingat sekali bahwa dirinya sendirilah yang mengantar jasad itu sampai ke tempat pemberhentian terakhirnya.

"Mamah udah gak ada. Mamah udah gak ada."

Kalimat itu kerap kali ia rapalkan guna menarik dirinya untuk menerima kenyataan.
Bahwa Mamah, alasan nya untuk bertahan hidup selama ini, telah tiada.


"Udah siap, Mas? Berangkat sama Ayah ya?"

"Aku berangkat sendiri," jawabnya lirih.

Itu tolakan kedua yang ayahnya terima setelah ajakan sarapan bersama pagi tadi.

"Yaudah kalau gitu. Ayah udah taruh jas ujan baru di motor kamu. Pelan-pelan aja bawanya."

"Hati-hati ya, Mas."

Setelah memastikan tali sepatunya sudah terikat rapih, dengan tatapan mata yang begitu dingin dia berlalu begitu saja.

Walaupun tanpa suara, seseorang yang menyebut dirinya 'ayah' tadi sudah paham betul, bahwa kalimat kepeduliannya juga di tolak.

🦊🍂

Dengan motor Vario hitamnya, dia menelusuri jalan untuk menuju ke sekolahnya.
Dia sengaja memilih jalan yang jauh agar tidak cepat sampai di sana.
Karena dari dulu sampai saat ini, sekolah masih menjadi tempat yang di bencinya.

Tempat dimana banyak orang yang berlagak peduli kepada sesama, tapi saling menjatuhkan di belakangnya. Seakan paling bersedia untuk selalu ada, tapi kenyataannya bisa menghilang tanpa sepatah katapun.
Lucunya mereka menyebut hubungan itu dengan pertemanan.

Dan tentu saja, dia tidak tertarik dengan hal seperti itu. Teman dan apapun yang berkaitan dengan itu.

Setelah memarkirkan motornya dengan rapih, dia memasang airpods di kedua telinganya dan mulai menikmati lagunya sambil berjalan.

Senyum pertamanya pun terbit, dalam hati ia bersyukur. Setidaknya dengan tidak mendengar kebisingan sekitar membuat suasana hatinya membaik.

Tempat parkir yang dipilihnya pun berjarak tidak begitu dekat dengan sekolahnya.
Dia hanya ingin meminimalisir pertemuan dengan orang sekolah di luar area sekolah.

Tahun kedua ini tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya.
Walaupun sudah dua minggu berlalu,  tahun ajaran baru masih sama sekali tidak menarik untuknya.
Disaat semua orang sudah merindukan suasana belajar di kelas atau seputar obrolan lucu di sela-sela pelajaran, dia tidak. Menurutnya hal-hal seperti itu hanya buang-buang waktu.
Bukan berarti hidupnya harus penuh dengan kegiatan bermakna, tapi melakukan kegiatan bersama orang lain itu, melelahkan juga merepotkan menurutnya.

Senyuman berikutnya muncul ketika melihat tidak banyak siswa yang datang bersamaan dengannya.
Hanya ada beberapa petugas kebersihan yang sedang sibuk menyapu area lapangan.
Datang tepat pukul 6 pagi masih menjadi pilihan paling tepat untuknya.
Dia berjalan dengan ringan melewati setiap koridor menuju kelasnya.

Langkahnya terhenti karena seorang perempuan yang berdiri tepat di depan pintu kelas dan menghalangi jalan untuk masuk.

Dia hanya diam dan menatap malas.

Perihal Jarak (ft. Renjun) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang