"Tapi Bunda, Aira gak mau dijodohin. Aira masih mau sekolah...!!!" teriak Humaira sambil berdiri di depan kedua orang tuanya yg sedang duduk di sofa. Wajahnya memerah. Tangannya mengepal. Ia benar-benar marah saat ini. Bagaimana mungkin orang tuanya secara tiba-tiba mengatakan bahwa ia dijodohkan di saat semangatnya sedang melambung tinggi mengejar impiannya menjadi seorang dokter. Ditambah lagi, ia dijodohkan dengan laki-laki yg tidak ia kenal.
Ayah dan Bunda saling pandang melihat anak bungsunya mengamuk di depan mereka. Sementara Taufik, kakak Humaira terdiam mendengar penolakan Humaira. Ia memutar badannya pelan-pelan membelakangi Humaira yg sedang berdiri di samping sofa yg ia duduki. Perlahan ia mengambil Qur'an kecilnya di dalam saku dan membacanya lirih. Kakak Humaira yang satu ini memang lebih kalem dibanding yg lain.
"Pokoknya Aira gak mau dijodohkan! Aira mau cari laki-laki sesuai pilihan Aira sendiri! Titik!" Humaira menekankan kalimatnya.
"Aira, Ayah sama Bunda kan belum selesai ngomongnya. Sini, dengerin dulu. Ayo... duduk di samping Bunda," bujuk Bunda mencoba menenangkan anaknya itu. Ia menepuk-nepuk sofa di sampingnya.
Humaira masih memasang muka cemberut. Namun bujukan lembut bundanya berhasil meluluhkan hatinya. Ia pun menurut dan duduk di samping bundanya. Taufik masih fokus membaca Qur'annya. Ia sama sekali tak melirik ke arah Humaira.
Bunda mengelus lembut kepala Humaira yg terbalut jilbab. Humaira hanya cemberut tak merespon belaian bundanya. Bunda tersenyum geli melihat penampilan putri kesayangannya itu. Jilbab ungu yg dipakai Humaira sudah berantakan dan tak beraturan. Rambutnya menyembul keluar. Gamis yg Humaira pakai juga sudah lusuh dan lecek gara-gara sering dipakainya bermain sehabis ngaji bersama teman-temannya.
Sedikit cerita tentang Humaira, ia anak bungsu dari Ustadz Muhammad Arifin, MA. Humaira adalah anak kelima dari 5 bersaudara. Kakaknya yg pertama bernama Idris Khoirul Mustofa. Ia sudah tamat kuliah S2 di Yaman jurusan Ilmu Tarikh. Bahkan ia juga sudah bekerja dan menikah. Kini ia tinggal di Banten, di kampung halaman istrinya. Namun jangan mengira Idris ini tidak punya rumah, ia membangun rumah sendiri tak jauh dari rumah mertuanya.
Kakak yg kedua perempuan. Namanya Nurul Jamilah. Ia juga sudah menikah. Pendidikannya S2 di bidang kedokteran di Jogja. Ia sudah bersuami dan tinggal di Jakarta bersama suami dan anak-anaknya. Muhammad Taufik Al-Murobbi adalah kakak yg ketiga. Ia sudah tamat kuliah S1 di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan menjadi ustadz di pesantren tempat ayahnya mengajar juga. Yang terakhir namanya Yusuf Hamdan Maulana. Ia masih kuliah semester 2 di UNPAD, Bandung. Kakak Humaira yg satu ini terbilang suka jahil dan nyebelin.
Semua anak-anak Ayah dan Bunda Humaira sekolah Tsanawiyah dan Aliyah di pesantren tempat kedua orang tuanya mengajar. Ustadz Arifin dan Ustadzah Latifah. Begitu panggilan kedua orang tuanya. Ustadz dan ustadzah yg paling disegani di Pesantren Al-Muhajirin. Namun mungkin karena terlalu disayang, Humaira menjadi anak yg manja dan agak bandel. Ia kadang bolos dari kelas hanya untuk bermain dengan teman-temannya yg berasal dari luar pondok. Karna sekolah Tsanawiyah dan Aliyah di sana dibuka untuk umum, bukan untuk para santri saja. Sayangnya Ayah, Bunda dan Taufik tak mengajar di Aliyah. Mereka Asatidz-Asatidzah yg berarti mereka mengajar para santri di pondok. Kelakuan Humaira di sekolahnya kadang tak diketahui oleh mereka.
Kembali ke Humaira. Ia masih cemberut menatap Bunda. Bagaimana ia tidak marah? Ia baru saja pulang dari pesantren selesai mengaji sore, eh, bukannya disambut dengan kabar bahagia, ia malah diberitahu tentang rencana lamaran seorang pria yg ia sendiri tidak mengenalnya. Ayah terdengar tertawa kecil karena merasa lucu melihat tingkah laku putrinya yg sudah kelas 1 Aliyah, tapi sifatnya sangat manja dan masih seperti anak-anak.
"Aira, Ayah sama Bunda bukan mau menjodohkan, hanya saja, ada seorang pria yg mengatakan bahwa ia tertarik padamu dan berencana melamarmu setelah kamu lulus sekolah. Dia anak sahabat Ayah, dan juga seorang ustadz..."
"Tuh, kan... udah dijodohin, sama ustadz pula. Bunda... kan Aira pernah bilang, kalau Aira gak mau nikah sama ustadz. Mau nikah sama artis aja biar keren, biar masuk TV," rengek Humaira.
"Ha..ha..ha..ha..ha.." Ustadz Arifin tak mampu menahan tawa mendengar rengekan polos Humaira. Taufik menggeleng-gelengkan kepalanya sambil pandangannya tetap pada Qur'annya.
Humaira cemberut melihat ayah dan kakaknya. Sementara Bunda terkikik geli. "Bukan begitu, Sayang... Pria itu belum melamar kamu, hanya mengatakan rencananya saja. Dia mau kok, menunggu Aira selesai sekolah," ucap Bundanya lagi.
"Tapi kan Aira masih mau kuliah, Bunda..." rengek Humaira lagi dengan memasang wajah memelas.
"Lo? Kan boleh menikah sambil kuliah. Banyak kok yg begitu. Bundamu juga menikah dengan Ayah saat sedang menyelesaikan S2-nya," ujar Ayah bermaksud menggoda putrinya.
Humaira melotot. "Pokoknya gak mau...!!!!!" teriaknya kuat-kuat. Ayah dan Bunda tertawa. Taufik hanya diam sambil sedikit tersenyum mendengar kepolosan sang adik.
"Ini cuma sebatas rencana, Aira. Lagian kan Aira juga berhak menolak. Gak harus menerima. Cuman untuk sekarang ini, dia juga lagi menyelesaikan S3-nya di Turki. Masalah dia jadi melamar atau tidak, itu gak usah dipikirkan. Aira fokus aja dulu sekolah, mengejar cita-cita Aira. Katanya mau jadi dokter kayak Mbak Nurul." Ayah Humaira tersenyum melihat putrinya.
Humaira kembali tenang. Perlahan-lahan cemberut di wajahnya hilang. Ia mengangguk dan berkata, "Tapi awas, ya, kalau sampai Ayah dan Bunda menerima lamaran itu tanpa sepengetahuan Aira. Keputusan mutlak ada di tangan Aira, dan Aira yang akan memutuskan. Kalau nggak, Aira bakal mengeluarkan diri dari kartu keluarga! Oke?!" Telunjuk Humaira mengacung mengancam Ayah dan Bunda. Ayah hanya bisa tertawa sambil memegangi perutnya. Bunda tertawa kecil dan mengangguk.
"Ekhemm.... " Taufik sedikit berdehem untuk menahan tawanya yg hampir meledak. Ia merasa geli dengan perkataan adiknya. Ia buru-buru menutup mulutnya dengan kepalan tangannya. Ia berusaha tak bersuara dan pura-pura fokus pada Qur'annya.
"Ya sudah, Aira masuk kamar, ya. Mandi, ganti baju. Abis ini kita siap-siap sholat Maghrib berjamaah di Masjid seperti biasa," kata Bunda.
Humaira mengangguk dan beranjak masuk kamar. Ia melirik kesal pada ayahnya yang masih tertawa. Ia buru-buru naik ke kamarnya di lantai dua dan mengunci pintu. Di berjalan ke kamar mandi, ia bergumam dalam hatinya, "Aku gak akan ngasih perhatian sedikit pun ke pria yg berencana melamarku setelah aku lulus sekolah. Akan kupastikan dia kecewa, dan aku tak akan pernah mau menerimanya" gumamnya dengan tangan mengepal.
***
Assalamu'alaikum....
Yuhuuu😙i'm back........
Hehe.. kira-kira rame gak ya, kalau nggak, ya.... terpaksa unpublish lagi kali ya... haha...Please komen di bawah pendapat kalian and, ramein kolom komennya dong dengan saran dan pendapat kalian. Please..... ya?
Makasih banyak-banyak deh buat kalian yg udh vote and comment. Pokoknya I ❤ U 😙😙😙😙😙Thanks you all...
Wassalamu'alaikum....
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan Pena Humaira🖋️
Short StoryIni adalah kisah di atas sehelai kertas yang basah oleh air mata. Ini adalah tulisan pena seorang gadis yang merana. Ini adalah curhatan hati wanita yang tersisihkan dunia. Ini adalah cerita berbalut duka yang akan abadi dalam hati para pembacanya. ...