Napas Humaira terengah-engah karena ia berlari. Ia sudah sampai di samping kantor Asatidzah. Humaira mengendap-endap mengintip ke kantor Asatidz. Sepi. Dan tak ada tanda-tanda Elsa ada di sana. Humaira menghembuskan napas lega. Ia lalu berjalan hendak masuk ke kantor Asatidz. Ia sudah biasa keluar-masuk kantor Asatidz walau sebenarnya kakaknya selalu mengajaknya mengobrol di luar. Ya, wajar sih. Kan di kantor Asatidz isinya laki-laki semua.
Langkah Humaira terhenti. Di depan kantor terlihat seorang pria menatap ke kejauhan sambil memegang tasbih. Ustadz Rizwan! Keringat dingin mengalir di dahi Humaira. Entah kenapa hatinya deg-degan melihat Ustadz Rizwan berdiri di sana. Tubuhnya lumayan tinggi. Badannya tegap. Jantung Humaira kali ini sudah tak bisa diajak kompromi.
Humaira menghela napas berat. Ia ingin pergi namun rasa khawatir pada kakaknya lebih besar. Ia menghembuskan napas pasrah dan berjalan pelan ke arah kantor. Ia sengaja memelankan suara sepatunya agar Ustadz Rizwan tak menyadari bahwa ia datang. Humaira gagal. Kakinya menginjak ranting yg bertebaran dan sepertinya belum dirapikan petugas kebersihan pondok karna hari masih pagi. Humaira menyerah tatkala melihat Ustadz Rizwan melihatnya. Ia menutup mata.
Rizwan menoleh. Ia tersenyum melihat tingkah Humaira yg lucu. Humaira diam di tempat. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia menggesek-gesekkan sepatunya ke tanah. Rizwan yang melihatnya hanya diam menghampiri.
"Assalamu'alaikum...." sapa Rizwan.
Humaira terkejut. Ia tak menyangka Ustadz Rizwan akan menghampirinya. "Wa...Wa'alaikumsalam..." jawab Humaira terbata.
"Kamu Humaira, kan?" tanya Rizwan.
"Eh, i.. iya." Humaira menunduk. Ia malu mengingat ia pernah mengira bahwa Ustadz Rizwan adalah salah satu siswa di Aliyah.
"Ada apa kamu kemari? Mencari Taufik, ya?" tebak Ustadz Rizwan.
"I... Iya. Kak Taufik ada di dalam, kan?" Humaira mencoba mengatur nada bicaranya.
Ust. Rizwan menggeleng. "Beliau mau ke rumah Pak Darma katanya. Ada perlu. Ada keperluan apa memangnya? Atau ada pesan yg mau disampaikan? Nanti biar saya saja yg sampaikan pada beliau."
Humaira tersentak. Ia baru teringat percakapannya dengan kakaknya saat mereka sampai di sini. Humaira merutuki dirinya dalam hati. Jika Ust. Rizwan tak ada di sini, mungkin ia akan menepuk dahinya berkali-kali. Namun di sisi lain, ia merasa lega karna rencana Elsa tak akan berjalan mulus.
Ust. Rizwan yg melihat menjadi bingung. "Dek, Dek Humaira, kamu gak apa-apa?"
Humaira tersadar. "Eh? Iya, Ustadz. Gak papa kok. Ya sudah, Ustadz. Saya balik ke kelas aja deh. Nanti saya yg bilang langsung aja ke Kak Taufik. Makasih, ya, Ustadz. Saya permisi. Assalamu'alaikum." Humaira bergegas berbalik pergi.
"Wa'alaikumsalam, Humaira," jawab Rizwan lirih.
Namun tiba-tiba, Humaira kembali membalikkan badannya. "Oya, Ustadz. Nanti kalau kakak saya datang tolong kasih tahu, jam istirahat pertama ketemu di depan rumah Ibu Kantin, ya."
Rizwan hanya terdiam, lalu pelan-pelan mengangguk. "Insya Allah, nanti saya sampaikan."
Humaira tersenyum. "Makasih, Tadz." Rizwan termenung tak menjawab. "Oya, dan kalau Ustadz manggil saya jangan panggil Humaira. Aira aja, itu nama panggilan saya," kata Humaira sambil tersenyum manis membuat Rizwan gelagapan.
"Eh, iya." Rizwan menjawab gugup.
Humaira tersenyum lalu membalikkan badan dan berlari menuju kelas meninggalkan Ust. Rizwan yg masih termenung di halaman kantor. "Aira, ya?" gumam Rizwan sambil tersenyum. Ia lalu masuk ke kantornya dengan senyuman yg masih tersungging di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan Pena Humaira🖋️
PovídkyIni adalah kisah di atas sehelai kertas yang basah oleh air mata. Ini adalah tulisan pena seorang gadis yang merana. Ini adalah curhatan hati wanita yang tersisihkan dunia. Ini adalah cerita berbalut duka yang akan abadi dalam hati para pembacanya. ...