𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 [✓]

00

Terkadang setiap orang memang pada dasarnya membutuhkan ruang untuk sejenak meredakan rasa sakit, tempat dimana mereka bisa sejenak meluangkan waktu untuk beristirahat. Merehatkan jiwa mereka dari hiruk-pikuk–nya alam semesta serta berisiknya mulut manusia. Namun, Argantara Tirta Bahasa—berbeda. Meski raganya tengah terlelap jiwanya tak pernah benar-benar ikut terlahap oleh gelap.

Ia adalah jiwa yang selalu berkelana mencari arti dari asa sesungguhnya, mencari makna yang tak tersirat maupun tersurat di dalamnya. Ia yang tak pandai hidup tetapi memilih untuk tidak mati di tangannya sendiri berkali-kali patah, tapi masih bisa di sambung lagi. Selagi punya kaki langkahnya takkan pernah berhenti. Tirta masih senantiasa mencari arti dari hidup sesungguhnya.

Kata Papa. Sebagai seorang kakak tertua Tirta harus menjaga adiknya, Tirta harus mendedikasikan hidupnya semata-mata hanya karena si Dirga. Tapi Papa pun lupa bila Tirta punya kehidupan sendiri berkali-kali di tuntut untuk begini semua tak akan sesuai ekspektasi. Tirta hidup dengan sangat bebas selayaknya seekor kupu–kupu meski sayapnya itu tinggal separuh. Ia masih terbayang setinggi mungkin mencapai langit.

Bila hidup diibaratkan seperti sebuah buku dan pena maka hidupnya Tirta akan membeku selamanya. Namun salahnya Tirta enggan menerima, ia hanya berharap mati segera tanpa mengatakan apa–apa. Lalu sebelum semuanya berakhir seperti debu Tirta ingin sedikit menerima cinta dari orang-orang yang benar–benar menganggapnya ada. Walau perputaran waktu sangat cepat berlalu Tirta tak pernah menyayangkan hal itu.

Ia senang meski hidupnya hanya di isi oleh kekosongan juga berantakan setidaknya semesta tak ikut campur seenaknya. Meski hidupnya singkat dan tak berati apa–apa, setidaknya ia mati dengan tak sia–sia.

— To be continued

Typo, abaikan. Sebagai bentuk dari rasa takjubku terhadap sosok seperti dia, dan membuatku memutuskan untuk membuat cerita yang mengkisahkan tentangnya.

- Jambi, 25 Januari 2022