Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 4

762 76 2
                                    

Setiap saat tanpa bosan dan pengharapan yang senantiasa Talita impikan semoga saja Tirta juga membalas cintanya. Meski selalu di abaikan begitu saja ia akan tetap berusaha meyakinkan diri ini karena sejatinya—ia sungguh mencintainya. Tidak peduli bagaimana pembalasan se-orang Tirta kepadanya. Setidaknya ia sudah berusaha meyakinkan dirinya sendiri semoga akan baik-baik saja.

“Kau masih menghayalkan laki-laki itu? Yakin masih memperjuangkan cintamu saja di tolak secara terang-terangan,” ejek sang Mama tanpa memikirkan perasaan putrinya.

“Yak, Ma. Aku sudah bilang berapa kali 'kan? Kalau aku saja belum mengungkapkan perasaan. Bagaimana mungkin bisa di tolak secara terang-terangan.” Talita sudah muak bila terus diam Mamanya selalu demikian. Entah apa yang wanita itu pikirkan sehingga membuat putrinya sendiri kesal.

Yang ada pada pikiran sang Mama adalah kesenangan melihat raut wajah kesal putrinya selalu timbul kebahagiaan. Ia juga tidak terlalu begitu yakin bila Talita itu berani mengungkapkan, keduanya sekedar bercanda gurau sembari menunggu pengunjung datang. Hari minggu dan seterusnya pula Talita akan membantu Mamanya bekerja, kedai di ujung kota menjadi tempat satu-satu penghasilan mereka.

"Bude, kopi latte—nya dua."

Sang lawan bicara menoleh ke arahnya ada ukiran kurva setelahnya akan tetapi Talita terdiam cukup lama. Tirta ada di sana bahkan cowok itu juga sedang menatap ke arahnya entah kenapa degup pada jantungnya semakin menggila. Dasar cinta bisa-bisanya seperti ini.

"Ini promo di kedai kami buat pelanggan setia. Ikmal kenapa kok enggak pernah lagi ke sini, bude kangen lho?"

"Aku nih orang sibuk, bude. Jadi enggak sempet buat kemari tapi sekarang aku udah ke sini." Ikmal membalas pertanyaan dengan mengukir senyum begitu juga dengan Tirta yang diam-diam mencuri pandang ke Talita.

Ikmal sudah lama menjadi langganan di kedai milik mereka itu alasan akurat kenapa Ikmal lebih ceria dari pada Tirta. Hingga pada akhirnya Ifa yang di panggil dengan sebutan bude yang merupakan Mamanya Talita bertanya, "cah ganteng ini siapa temen kamu, ya? Kayaknya bude baru lihat."

"Dia Tirta, bude. Anaknya pak CEO di perusahaan terkenal di Jakarta anaknya pendiam memang. Bad boy soalnya, hahaha ... hahaha." Ucap Ikmal di barengi kekehan mendengar penuturan Ikmal. Talita tertawa saja akan tetapi Tirta mengukir kurva ketika melihatnya tertawa.

Keduanya memang lumayan dekat Talita juga mengenal baik Ikmal karena dia memang sering datang. Akan tetapi karena tidak bertemu sangking lamanya Ikmal menatap Talita heran dan kemudian berkata, "lho ini Talita 'kan? Makin cantik aja mentang-mentang aku jarang ke sini." Padahal mereka baru bertemu beberapa hari kemarin.

Rasanya ketika mendengar Ikmal berkata dengan begitu formal membuat Tirta menatapnya penuh kegelian. Talita hanya mengukir senyum karena ia pun tidak begitu dekat dengan Ikmal ini sangat mencanggungkan mengakibatkan ia terdiam. Menyimak habis obrolan Ikmal dan juga Mama yang saking asiknya.

Waktu sudah terasa lama jadi Ikmal pamit untuk pulang segera dan pergi setelahnya. Akan tetapi Tirta mendekati Talita dengan tatapan yang sulit diartikan sembari membisikkan frasa. "Aku akan sering-sering datang kemari, sendiri."

Tubuhnya menengang ada desiran pada jantungnya yang merasa senang karena Tirta berujar duluan. Talita tidak bisa berkata-kata karena sangking bahagianya ini kali pertama bagi Talita mendengar sendiri deep voice se-orang Argantara Tirta Bahasa orang yang di kagumi olehnya sejak lama.

⁎ ______________✢______________ ⁎ 

Sedikit kurang nyaman karena selama sebulan kepergian Mamanya Tirta selalu makan di luar. Ia tidak ingin makan masakan Mamanya—Dirga karena rasanya pun akan berbeda juga akan menyakitkan nantinya. Tetapi tak apa-apa Tirta tidak sudi bila terpaksa meski sesuap saja.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang