“Gue udah tahu semuanya tentang kematian Talita. Sekarang lo di mana, Ta. Perasaan gue beneran enggak enak sejak tadi.”
Di ujung sana Tirta mengukir senyuman ada gejolak rasa penuh sesal karena telah membuat sahabatnya risau. Ia sempat mampir sebentar untuk melihat keadaan Ikmal sembari menyerahkan ponsel milik Talita, bahkan ia sempat berkata. “Semua bukti ada di rekamannya.”
Tirta awalnya pun tidak pernah menduga bila Talita sempat merekam kejadian tersebut dari langkah kakinya yang berpacu lebih cepat, serta deru napasnya yang semakin melambat. Tirta bisa merasakan hanya dengan mendengar rekaman.
“Maafin gue, Mal. Tapi gue harus selamatin Dirga sekarang, soal kronologi kenapa Talita punya tuh rekaman. Karena Talita memang sempat ngerekam buat bukti kejadian awalnya dia pikir orang yang ngejar dia itu orang jahat rupanya bukan,” jelas Tirta penuh kehati–hatian.
“Enggak habis pikir rupanya Talita pinter banget ngasih clue beginian. Tapi langsung bikin gue paham padahalkan dia bilang, dia enggak bakalan ngasih tahu siapa orangnya takut kalau lo bakalan ben—”
“Dia takut kalau gue bakalan benci sama orang yang udah bikin dia mati. Gue harus pergi enggak usah pakek ngelacak posisi gue ada di mana, pokoknya kalau gue enggak ngasih kabar sampai dua jam berarti lo harus panggil polisi.”
“Lo aja enggak mau ngasih tempat lo sekarang ada di mana, bangsat!”
Klik
Menghela napas sejenak sembari mengusap wajahnya sendiri kasar. Tirta tengah ketakutan dan campur rasa bimbingan pesan–pesan dari nomer yang tidak dirinya kenal, serta panggilan dari Raka yang turut ia abaikan. Tirta tidak bisa menghela napas leluasa sebenarnya apa yang telah terjadi.
Bila kehidupan reinkarnasi itu ada. Maka kehidupan sebelumnya Tirta melakukan kejahatan semacam apa, sehingga kehidupannya seperti ini jadinya. Tirta harus menyelamatkan Dirga apa pun pinaltinya.
──────── (´A`。 ────────
Tirta berhenti sebentar, Raka terus menghubunginya berulang-ulang sehingga membuatnya kesal. Dan akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan.
“Kau di mana, sialan?!”
Tidak ada jawaban yang ia jabarkan hanya dapat terdiam sembari menyimak habis umpatan kasar yang pastinya akan Raka cetuskan. “Adikmu hilang dan kau jangan menambah beban pikiran, Tirta. Pulang sekarang untuk apa kau pergi, kau mau cari mati.”
“Ya. Lebih tepatnya seperti itu apa gunanya aku harus hidup sedangkan Papa telah lama mengabaikanku, aku kehilangan semuanya, kehilangan Mama, kehilanga—”
“Ya sudah. Mati saja!”
“Baiklah, akanku lakukan.”
──────── (´A`。 ────────
Air matanya meluruh di pipi akan tetapi sebisa mungkin ia hapus dengan usapan kasar. Barangkali Raka sedang di landa kekalutan sehingga menyebabkannya berkata demikian, Tirta telah sampai di tempat yang diberi tahukan. Dan memang benar-benar Dirga ada di dalam kedua tangannya terikat di belakang, tubuhnya penuh luka lebam Tirta mencoba melepaskan ikatan tersebut.
Tampak kesulitan sehingga membuat Dirga menengadahkan tatapan lemahnya sembari berkata, “maaf. Seharusnya gue enggak ngasih nomer hp lo ke mereka.”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 [✓]
Non-Fictionᴋᴇʜɪᴅᴜᴘᴀɴ ʏᴀɴɢ ʟᴀʏᴀᴋ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ᴋᴇʜɪᴅᴜᴘᴀɴ ᴅɪᴍᴀɴᴀ ᴅɪʀɪᴍᴜ ʙɪsᴀ ᴅɪᴛᴇʀɪᴍᴀ ᴅᴇɴɢᴀɴ ʙᴀɪᴋ. Mulai; 25, Jᴀɴᴜᴀʀʏ 2022 Sᴇʟᴇsᴀɪ; 27 Fᴇʙʀᴜᴀʀʏ 2022