Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 17

656 65 37
                                    

Semasa kecilnya Tirta jarang sekali merasakan sebuah luka atau pun ketidakpedulian Raka terhadap dirinya. Masa–masa itu benar-benar terlihat menyenangkan nan membahagiakan Tirta sungguh menginginkan masa–masa itu kembali terulang, meski pun sebentar. Setidaknya ia masih bisa merasakan sebuah kasih sayang hingga sekarang.

Raka bahkan tak mengetahui makanan kesukaannya mau pun pantangannya. Pria baya itu malah menyamakan dirinya dengan Dirga yang padahal keduanya sudah jelas–jelas berbeda dan pantas saja, hal itu membuat Dita marah padanya.

“Dirga nanti pulang sama Papa, ya. Jangan lupa tangannya minta di urut sama Pak Komar, Mama entar malem pulangnya. Abangmu harus di rawat dulu beberapa waktu,” ucap Dita sembari mengulas senyuman

“Jam berapa pulangnya, entar Papa jemput aja dari pada Pak Komar yang jemputnya.”

Wanita itu terdiam tak menanggapi apa–apa hanya sibuk membenahi kerah hoodie—yang dikenakan putra bungsunya. Raka mengerti atas sikap yang ditunjukan Dita membuatnya merasa amat menyesal ini semua memang kesalahan, akan tetapi ia juga tak mungkin dengan sengaja membuat Tirta berakhir demikian.

“Ya sudah. Dirga pulang aja jangan lupa di olesin salep tangannya, ya.”

Dengan berat hati pun Raka harus pulang meski sedikit merasa bimbang karena Dita mendiamkannya tanpa mengatakan sepatah kata. Setelah kepergian keduanya Tirta membuka mata dan melirik ke arah Dita yang sibuk mengemasi barang bawannya.

“M-mama.” Suara itu terdengar berat nan parau entah kenapa perasaannya menghangat ketika Tirta memanggil namanya dengan sebutan ‘Mama’ tak seperti biasanya.

“Iya sayang. Ini Mama, kamu mau minum? Sebentar Mama ambilka—”

“Disini aja, Ma. Aku takut sendirian, aku juga enggak mau kehilangan Mama Dita sama seperti aku kehilangan Mama Tania.”

Air matanya jatuh seketika. Ada rasa lega nan bahagia sembari menggenggam jemari besar sang putra. Dita menganggukkan kepala sedangkan Tirta menatap pias cantik Mama tirinya meski tak dapat lagi dikatakan muda, Dita masih terlihat sempurna akan kecantikannya.

Kemudian Dita meraba surai sang putra tirinya, mengusap lembut pipi tirusnya dan melanjutkan kata. “Kamu tetap anak Mama, Tirta. Apapun alasannya Mama bakalan ada buat kamu selamanya.”

──────── (´A`。 ────────

“Tirta. Ini pesan Mama, ya. Jangan keseringan minum obat anti depresan kecuali resep dari dokter waktu itu. Kamu enggak boleh bergantung sama obat cukup mental kamu yang kesakitan dan kita obatin pelan–pelan, jangan sampai fisik kamu juga ikutan Mama beneran enggak bisa tenang.”

Tirta hanya diam dan menyerahkan semua buliran–buliran pil berwarna putih tersebut ke Dita. Dan wanita itu pun langsung memasukkannya kembali ke dalam tabungnya, ia kalut sekarang takut bila nantinya Tirta kembali kesakitan. Ia juga takut bila nantinya sang putra menyalah gunakan pemakaiannya sehingga membuat beberapa organ di dalam mengalami kerusakan, terutama gagal ginjal dan lainnya.

“Itu semua obatnya, Ma.” Kata Tirta yang menundukkan kepala.

“Beneran cuma ini aja. Kamu enggak ada nyimpen yang lainnya selain ini, kan? Ayo jujur jangan bohong.”

Hanya ada anggukkan di barengi tatapan kelam pada binar Tirta yang telah lama kehilangan pesinar. Akhir–akhir ini kondisi cowok itu terkadang sering kali tidak memungkinkan, kadang ia pun harus menelan beberapa tablet obat tidur supaya membantunya terlelap. Hal tersebutlah yang memicu persoalan Dita karena Dita tak akan membiarkannya kembali terluka apa pun caranya.

𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang