Haru Artama Kaindra

513 67 6
                                    

Halo, ketemu lagiii. Selamat membaca 'Satu Hari Untuk Haru' versi terbaru.

Seorang anak kecil berusia tujuh tahun tengah duduk di ayunan taman seorang diri, netranya tak henti-hentinya memperhatikan interaksi anak-anak seusianya yang sedang bermain bersama keluarga mereka masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang anak kecil berusia tujuh tahun tengah duduk di ayunan taman seorang diri, netranya tak henti-hentinya memperhatikan interaksi anak-anak seusianya yang sedang bermain bersama keluarga mereka masing-masing. Tak seperti dirinya yang hanya seorang diri menonton dari kejauhan.

Ia adalah Haru Artama Kaindra, si anak tampan yang mendambakan banyak hal sederhana terjadi di dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti bermain bersama ayah sepanjang hari, membeli es krim berbagai rasa bersama ibu dan setelahnya dimarahi karena sakit gigi. Haru kecil tersenyum membayangkan betapa bahagianya ia andaikan khayalannya itu menjadi kenyataan.

"Haru, Nenek cariin dari tadi ternyata di sini. Nenek kira kamu main ke rumah temanmu." dia Aida, wanita yang telah memasuki usia senja yang selalu ada setiap waktu untuk Haru.

Haru mendongak menatap manik hitam neneknya, lalu bocah tujuh tahun itu tersenyum manis. "Nek, Haru juga mau seperti itu." Ia menunjuk seorang anak dan ayahnya yang tengah bermain bola, ibunya yang menyemangati dari pinggir dengan air minum dalam genggaman.

Aida tersenyum miris melihat pemandangan yang ditunjuk oleh cucunya, wanita tua itu mengusap rambut Haru dengan lembut. "Suatu saat nanti Haru akan merasakan hal yang sama. Bermain bersama ayah, lalu disuapi makan oleh ibu. Haru anak baik, kan? Haru mau janji satu hal sama Nenek?"

Haru memiringkan kepalanya mendengar ucapan neneknya. "Janji apa?"

"Haru harus janji, di saat waktu itu tiba. Saat Haru bertemu dengan ayah, Haru gak boleh benci ayah, ya? Haru juga harus jadi anak yang penurut, gak boleh nakal."

Netra Haru berbinar saat Aida menyinggung tentang ayahnya. "Ayah akan datang ya, Nek? Kapan?" tanyanya dengan antusias.

Aida tersenyum lalu menggeleng. "Enggak hari ini. Suatu hari nanti pasti ayah kamu akan datang menjemput Haru dan ibu untuk tinggal bersama."

"Nenek juga?"

"Enggak. Nenek akan pergi ke rumah Nenek yang lain," ujar Aida.

Haru mengerutkan keningnya mendengar perkataan dari neneknya. "Kemana? Nenek punya rumah lagi? Kok Haru gak tau?"

Aida tersenyum manis menanggapi pertanyaan cucunya. "Untuk saat ini belum waktunya Haru tau rumah baru Nenek. Nanti saat tiba waktunya Nenek pindah, Haru mau, kan nganterin Nenek ke rumah baru Nenek?"

Haru tersenyum dan mengangguk dengan antusias. "Mau dong, Nek."

"Ayo pulang, udah sore. Ibumu pasti sudah sampai rumah."

Sesampainya mereka di rumah, Haru lekas berlari ke dalam begitu menemukan sepeda motor yang selalu dikenang oleh ibunya terparkir di dekat pagar.

"Hati-hati, Nak, nanti kamu bisa jatuh," peringat Aida. Haru tak mengindahkan peringatan dari neneknya, di dalam benaknya sekarang hanya pelukan dari ibunya.

"Ibu, Haru kangen," ujarnya begitu melihat seorang perempuan yang seharian ini tidak ada di rumah, Haru memeluk perempuan itu dengan erat namun tak berlangsung lama karena pelukannya dilepaskan dengan cepat.

"Lepas! Jangan peluk saya, kamu kotor!" Livia, perempuan itu mendorong tubuh ringkih Haru menjauh darinya.

Haru tersentak mendengar bentakan dari Livia, bukan ini yang ia harapkan. Haru hanya ingin dibalas dengan pelukan lagi oleh ibunya bukan sebuah dorongan kasar dan bentakan seperti ini. "Ibu ...," lirihnya.

"Livia, kamu apakan Haru? Jangan kasar dengannya. Haru tidak tahu apa-apa, jangan melampiaskan kemarahan kamu kepada anak yang tidak bersalah."

Aida lekas membawa Haru kedalam dekapannya begitu melihat manik cucunya yang berkaca-kaca. "Kalau kamu lupa biar Ibu ingatkan. Haru ini anak kamu, bukan orang lain. Gak sepantasnya kamu memperlakukan anakmu sendiri seperti ini. Haru masih kecil, dia gak akan paham dengan masalah kamu dan masa lalu mu itu."

Livia berdecak mendengar ucapan ibunya. "Ck, Bu, jangan mulai. Aku gak mau berdebat. Lagi pula karena dia gak tau apa-apa itu yang menjadi masalahnya, seharunya dia gak ada di sini, harunya dulu aku gugurkan saja dia. Merepotkan sama seperti bajingan itu!"

Plak!

Aida menampar pipi Livia dengan keras, sampai menimbulkan suara yang nyaring. "Jaga ucapan kamu, Livia. Haru adalah anak kamu, suatu saat nanti kamu akan menyesali semua perkataan kamu ini!"

Haru kecil menahan isakannya begitu melihat nenek menampar ibunya. Ingin rasanya dia memeluk Livia dan mengusap pipi ibunya yang memerah, tetapi Haru takut.

"Dari dulu Ibu selalu ngebelain anak ini dan sekarang Ibu tega-teganya nampar aku karena anak ini. Ibu harus ingat satu hal aku gak akan menyesal melakukan ini, dan aku pastikan dia akan bersama si bajingan itu!" ujar Livia dengan memegangi pipi kirinya yang ditampar oleh Aida.

"Ibu ... Maafin Haru. Haru janji gak akan nakal lagi, gak akan peluk-peluk Ibu lagi. Nenek jangan pukul Ibu. Pukul Haru aja, karena Haru udah jadi anak nakal." Anak laki-laki itu menatap manik neneknya dengan pandangan memohon lalu menatap Livia yang tengah memalingkan wajahnya dari Haru.

"Drama aja terus. Gak guna!" Setelah mengucapkan itu Livia pergi ke kamarnya meninggalkan Haru dan ibunya di ruang keluarga.

Aida mengusap dadanya mendengar ucapan dari putrinya, sudah tujuh tahun berlalu dari kejadian masa lalu itu tetapi sikap Livia pada Haru masih sama. Aida tidak tahu lagi harus melakukan cara seperti apa agar anaknya itu mau menerima kehadiran Haru, karena bagaimanapun Aida tidak akan selamanya berada di sisi cucunya.

"Nek, jangan marah-marah ke ibu. Marah-marah ke Haru aja, ibu gak salah apa-apa. Haru nakal tadi, jadi yang harus di marah-marah itu Haru bukan ibu," ucap Haru, anak laki-laki itu mengusap lengan neneknya mencoba menenangkan Aida dari kemarahan.

Aida tersenyum melihat perlakuan Haru kepadanya, wanita itu memeluk Haru dengan erat. "Haru gak perlu di marahi, yang salah itu ibu kamu. Udah jangan dipikirkan yang tadi sekarang Haru mandi, nenek mau masak untuk makan malam. Okey?"

"Okey, Nek," ujar Haru dengan membuat gestur hormat kepada neneknya lalu anak laki-laki itu bergegas ke kamar mandi.

Di kamarnya Livia tengah menatap senja dari balik jendela, sekelebat bayangan tentang masa lalunya tiba-tiba muncul dan tanpa di sadari air mata menganak sungai di pipinya. Bayangan tentang memori indah yang pernah terjadi di dalam hidupnya bersama laki-laki yang dia cinta dulu. Sebelum semuanya berubah menjadi memori gelap yang ingin Livia hapus dalam benaknya. Dia mengutuk dirinya sendiri karena terlalu percaya dengan omong kosong lelaki yang pernah menjadi kekasihnya itu, rayuan tentang indahnya masa depan mereka sampai akhirnya hanya angan-angan yang tersisa.

"Kenapa Haru mirip sekali dengan bajingan itu ya Tuhan. Kalau seperti ini aku tidak akan bisa melupakan wajahnya, setiap menatap manik hitam anak itu aku selalu teringat tentang dia. Kenapa dia harus semirip itu dengannya?" monolognya.

Ya, mau dilihat dari sisi manapun Haru memang mirip dengan ayahnya dan hal itulah yang membuat Livia sampai saat ini belum bisa menerima kehadiran Haru.

Satu Hari Untuk HaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang